Imanuel Tommy Setiono masih muda. Usianya baru 27 tahun pada 29 Juli 2022 nanti. Namun, kesibukan pekebun di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung itu seabrek. Setiap pekan ia harus memanen ribuan buah kakao. Tommy mengelola 10.000 tanaman produktif. Sepuluh karyawan membantu Tommy memanen, membelah buah, mengambil biji, lalu memfermentasi selama lima hari.
Pemuda itu memperoleh 7—8 ton biji kakao kering hasil fermentasi setiap bulan. Volume itu berasal dari panen 24—28 ton buah segar setiap bulan. Tommy mengatakan, harga penjualan terakhir pada April 2022 mencapai Rp45.000 per kg. Omzet Tommy dari perniagaan biji kakao fantastis, minimal Rp315 juta sebulan. Harga jual biji fermentasi Rp45.000 per kg terbilang tinggi. Bandingkan dengan harga biji kering lain hanya Rp25.000—Rp28.000 per kg.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten
Tren organik
Harap mafhum, Tommy membudidayakan kakao secara organik. “Penerapan budidaya sudah organik,” kata alumnus SMK Negeri 2 Lampung Tengah itu. Demi memperoleh kepercayaan, pembeli kerap datang langsung ke kebun dan melihat proses budidaya. Saat ini ia masih mengurus sertifikat organik.Apalagi harga beli tinggi bisa hingga Rp50.000 per kg kering yang sangat membantu petani. Mutu biji kakao dari kebun Tommy juga baik menyebabkan harga jual tinggi.

Hasil pengecekan menunjukkan, biji kakao dari lahan Tommy berkadar air 6—7%, kotoran kurang dari 2%, dan jumlah biji kakao kering per 100 gram terdiri atas 85—100 butir. Harga kakao organik tinggi sebuah keniscayaan. Bahkan di Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, Kadek Suantara memperoleh harga Rp50.000—Rp90.000 per kg biji kakao kering hasil fermentasi. Kadek mengelola lahan 2 hektare.
Sejak awal pria 49 tahun itu membudiyakan kakao dengan sistem organik. “Membudidayakan kakao organik jelas menguntungkan,” kata Kadek. Potensi laba berkebun kakao organik mencapai Rp8,8 juta per ha per bulan (lihat “Laba Kakao Organik” halaman 29—30). Tiga tahun terkhir kian marak pekebun yang membudidayakan kakao secara organik karena tuntutan pasar internasional.
Menurut praktikus kakao di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, Nyoman Suparman, S.P., kini 400 ha kebun kakao di Jembrana tersertifikasi organik dari SNI dan Eropa (Organic ACT-EU). Populasinya rata-rata 700—800 tanaman per ha. Harga jual pun terkerek untuk biji kering fermentasi hingga Rp90.000 per kg. Sementara, harga biji kakao kering fermentasi nonorganik di Bali berkisar Rp30.000—Rp40.000 per kg.

Nyoman menuturkan, penerapan budidaya organik untuk jangka panjang. “Kualitas lingkungan terutama menjadi lebih baik dan tanah sebagai media tanam menjadi sehat,” kata sarjana pertanian Alumnus Universitas Dwijendra itu. Nyoman mengatakan, potensi produksi kakao organik sebetulnya bisa lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional. Hasil kebun kakao organik bisa hingga 2 ton buah kakao segar per ha per tahun. Sementara itu panen di kebun kakao konvensional hanya 300—500 kg buah segar per tahun.
Lihat saja di kebun PT Pengelola Aset Islami Indonesia, produksi kakao menjulang, 3 ton biji kering fermentasi per ha. Perusahaan itu mengelola kebun kakao organik seluas 50 ha. Populasi kebun kakao yang telah tersertifikasi organik Inofice sejak 2018 itu terdiri atas 800—900 tanaman per ha. Umur tanaman 4 tahun. “Menghasilkan kakao organik bukan sekadar bisa menjual produk lebih mahal,” kata pendiri PT Pengelola Aset Islami Indonesia, Afdhal Aliasar, S.T.
Menurut Afdhal produk organik memiliki nilai tambah sebagai produk sehat. Nilai tambah optimal justru ketika mengelola hasil kebun menjadi sebuah produk. Alumnus Teknik Industri Universitas Indonesia itu mengolah kakao menjadi beragam produk antara lain cokelat bubuk, cokelat batangan, kukis, aneka minuman, dan produk cokelat khusus untuk penderita diabetes melitus. Olahan cokelat kreasi Afdhal juga sempat menjuarai ajang salah satu pameran cokelat di Paris, Prancis. “Penjualan masih dominan dalam negeri, kami mengemas produk cokelat dengan nama Minang Kakao,” katanya. Minang Kakao pun mengekspor produk cokelat kreasinya ke Korea Selatan dan Rusia.
Peluang pasar
Menurut ahli agribisnis dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Masyhuri, keuntungan produk kakao organik adalah harga yang lebih tinggi daripada harga cokelat konvensional. “Petani yang rasional akan memproduksi kakao organik,” kata Masyhuri. Menurut doktor Agricurtural Economics alumnus University of the Philippines Los Banos itu petani mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi jika menerapkan manajemen yang tepat.

Guru besar di Departemen Agribisnis UGM itu mengatakan, produk kako organik akan tumbuh seiring dengan kesadaran konsumen yang memerlukan kakao sehat. Oleh karena itu, perlu pembenahan sosialisasi sertifikasi organik sehingga semua petani mengetahui cara-caranya dan terbuka bagi semua petani. Sosialisasi sertifikasi organik dilanjutkan dengan praktik sertifikasi organik itu. Sertifikasi perlu dilakukan secara berkelompok agar murah biayanya dan dilakukan bersamasama agar lebih mudah.
eruan saja menghasilkan kakao bermutu bukan perkara mudah. Para pekebun mendapat tantangan dari Conopomorpha cramerella. Serangga hama itu musuh utama dalam budidaya kakao (Theobroma cacao). Celakanya ia tak pandang bulu menyerang buah. Buah muda pun tak luput dari incarannya. Petani dapat menerapkan inovasi pengendalian penggerek buah kakao antara lain dengan memanfaatkan daun sirsak (baca: Cara Baru Atasi Hama Kakao halaman 18—19).
Jika mampu mengatasi beragam aral, pekebun berpeluang meraih laba besar. Menurut produsen sekaligus eksportir cokelat organik, Kadek Surya Prasetya Wiguna, S.E., serapan produk cokelat dalam dan luar negeri amat tinggi. Pemilik Cau Cokelat itu menuturkan, indikatornya konsumsi per kapita per tahun terus tumbuh. “Jika pada 2020 0,4 kg per kapita per tahun, pada 2021 naik menjadi 0,5 kg per tahun,” kata Surya. Belum lagi jika menyebut hari raya seperti Lebaran dan Natal, permintaan bisa naik hingga 100%.
Surya menuturkan, dari sisi hilir atau serapan sebetulnya tidak ada kendala. Justru sisi produksi yang menjadi kendala. Menurut produsen kakao organik sejak 2016 itu, serapan industri kakao dalam negeri bisa sampai 1 juta ton biji kakao kering saban tahun. Sementara pasokan dari kebun paling banter hanya 600.000 ton per tahun. “Dari sisi hulu atau budidaya butuh permajaan tanaman tua, pengendalian hama penyakit tepat,dan budidaya intensif agar produksi kakao meningkat,” kata Surya.

Pengusaha di Kabupaten Tabanan, Bali itu mengatakan, ceruk pasar ekspor sangat terbuka lebar. Singapura meminta rutin pasokan 5—15 ton cokelat organik per bulan. “Pasokan kami baru 3 ton per tahun,” katanya. Harap mafhum, menurut Surya kebun kakao organik di Indonesia masih sedikit. Pasalnya, kakao organik baru sekitar 1% dari produksi nasional. Menurut Surya pasar ekspor cokelat organik antara lain ke Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa tak kalah tinggi.
Tantangannya eksportir mesti menyesuaikan sertifikasi organik dengan negara tujuan. Misalnya JAS Organic untuk memasok pasar Jepang, USFDA Organic untuk memasok pasar Amerika Serikat, dan EU Organic untuk memasok pasar Eropa. Begitu juga potensi ekspor kakao nonorganik, tak kalah besar. Sejak 2017, PT Berau Cocoa mengekspor kakao ke Inggris, Belanda, Jepang, dan Australia.
Menurut Head of Cacao Business Unit PT Berau Cacao, Muhammad Khodim, “Permintaan hingga 5.000 ton cokelat dan masih jauh dari kata terpenuhi.” Perusahaan di Kalimantan Timur itu mengandalkan pasokan dari 487 pekebun kakao binaan. Mereka mengelola lahan 616 ha. Produktivitas mencapai 1,2 ton buah segar per ha per tahun. Khodim menuturkan, kapasitas ekspor saat ini masih 6 ton cokelat per tahun.

“Berau Cocoa satu satunya yang mendapatkan sertifikasi indikasi geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2021,” katanya. Standard ekspor kakao secara fisik mengacu pada International Cocoa Organization (ICCO). Berau Cacao pun mengolah biji kakao menjadi 3 produk cokelat. “Ada 3 olahan di Berau Cocoa yaitu cokelat rasa buah, cokelat jahe dan cokelat kacang,” katanya.
Prospek baru lain berupa olahan kakao. Kini kian banyak pekebun yang meningkatkan nilai tambah dengan cara mengolah kakao hasil panennya. Benny Hendricrianto mengolah hasil kebun menjadi beragam produk cokelat, antara lain bubuk cokelat, cokelat batangan, dan aneka camilan cokelat. Petani di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, itu lalu menyajikannya di kafe Dosesoen Kakao. Keruan saja nilai tambah yang diperoleh bisa berlipat dibandingkan dengan sekadar menjual biji kering.
Sebagai gambaran, harga biji kering Rp30.000—Rp45.000 per kg. Sementara itu omzet setelah mengolah bisa hingga Rp300.000 per kg cokelat. Benny menuai rata-rata 28 ton biji kering per tahun. Petani kakao sekaligus produsen olahan cokelat itu kian marak di berbagai sentra (baca: Potensi Bisnis Hulu Hilir halaman…). Bahkan, ada juga yang menjadikan kebunnya sebagai destinasi agrowisata. Itulah tren dan prospek baru berkebun kakao.