Putu Winda membuka saluran pipa irigasi tetes (drip irrigation) yang terhubung dengan tandon air. Seketika dari ujung nozel mengalir air yang membasahi akar stroberi di lahannya. Perempuan petani muda di Pancasari, Kabupaten Buleleng, Bali, itu mengadopsi teknologi mutakhir.
Irigasi tetes adalah cara membasahi tanaman dengan memberikan air langsung pada permukaan tanah di sekitar perakaran tanaman sesuai kebutuhan. Irigasi tetes itu menyediakan kebutuhan air untuk 45.000 tanaman stroberi. Winda membudidayakan stroberi dengan sistem hidroponik dan menggunakan media tanam sekam bakar. Irigasi tetes itu menyediakan air dan nutrisi atau fertigasi.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten
Telepon genggam
Irigasi tetes di kebun Winda juga otomatis dan dapat dikendalikan dari jarak jauh. Winda tak perlu khawatir lagi meninggalkan tanaman stroberi di 9 rumah tanam ketika bepergian ke luar kota selama 3 hari. Cukup pastikan tandon yang mengalirkan nutrisi penuh sebelum ditinggal. Selanjutnya Winda mengendalikan pemberian nutrisi dari jarak jauh menggunakan telepon genggam yang terhubung dengan jaringan internet di kebun.

Ia mengaplikasikan internet of things (IoT) di kebunnya. IoT merupakan teknologi yang memungkinkan benda-benda di sekitar kita terhubung dengan jaringan internet. Winda menggunakannya untuk budidaya stroberi dengan teknik hidroponik. Ia cukup membuka aplikasi yang membangun sistem IoT sesuai kebutuhan di ponsel.
Di halaman depan langsung terlihat indikator seperti cuaca, kelembapan, pH tanah, pH air, curah hujan per menit dan per jam, serta suhu udara. Ponsel di tangannya terhubung dengan sebuah kotak kecil yang terpasang di sebuah tiang panel surya mini. Alat itulah yang berperan mengakses jaringan internet. Winda salah seorang petani yang tergabung dalam komunitas Petani Muda Keren (PMK) yang dikomandoi A.A. Gede Agung Wedhatama P.
Selain Winda ada 22 petani muda yang bergabung dalam komunitas PMK. Mereka membentuk Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Petani Muda Keren (PMK) sesuai dengan keahlian masing-masing. Menurut Agung Wedhatama komunitas PMK itu menjadi komunitas yang bergerak sebagai agen-agen perubahan di bidang pertanian. “Kami mengajak dan memberi solusi kepada anak-anak muda Indonesia untuk kembali bertani,” tutur Agung Wedhatama.
Darurat
Menurut pelaksana tugas Dekan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr., Indonesia berada pada kondisi darurat kehilangan sebagian besar petaninya dalam satu generasi. “Dukungan pemerintah dan peningkatan teknologi pertanian dapat menahan tren itu,” tutur Sutyo. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 2063 tidak ada petani profesional di Indonesia.
Kaum muda tidak bergabung dengan industri, pertanian menjadi lebih mahal, dan petani tidak diperlakukan secara adil dalam rantai pasokan produksi pangan yang panjang. Suryo menuturkan, lebih dari sepertiga (menurut sebuah penelitian 37%) petani Indonesia berusia lebih dari 54 tahun. Sebaliknya, hanya 10% petani berusia antara 25—34 tahun. “Ketika petani pensiun, semakin sedikit petani muda yang menggantikan mereka,” kata Suryo.

Sebanyak 65,8% pekerja bekerja di sektor pertanian pada 1976. Namun, pada 2019 angka itu menurun menjadi hanya 28%. Penurunan jumlah pekerja tidak diimbangi dengan peningkatan teknologi dan kualitas yang memadai di sektor itu. Kekurangan tenaga kerja berdampak langsung pada proses produksi pertanian. Dampaknya memengaruhi volume dan kualitas produk pertanian.
Sulitnya mencari pekerja di bidang pertanian—terutama untuk pertanian pangan—mengakibatkan biaya tenaga kerja lebih tinggi. Ketika pertanian menjadi lebih mahal, semakin banyak petani yang menjual tanah mereka. Akibatnya, kecenderungan alih fungsi lahan muncul. Hal itulah yang ditakutkan di masa mendatang. Oleh sebab itu,isu ketahanan pangan menjadi sorotan para pemimpin negara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Kaum muda juga menganggap bahwa bekerja di sektor pertanian menuntut fisik. “Teknologi adalah peluang terbaik untuk mengatasi masalah itu,” ujar Suryo. Oleh sebab itu, universitas pertanian dan lembaga penelitian disarankan untuk menjadikan pengembangan teknologi pertanian sebagai prioritas utama. Di sisi produksi, teknologi memudahkan pekerjaan fisik, meningkatkan efisiensi, memangkas biaya produksi, dan meningkatkan margin keuntungan.
Itulah yang dilakukan Winda. Selain menerapkan IoT, ia juga menerapkan budidaya stroberi secara vertikal. Stroberi ditanam dalam 3 tingkatan yang berbentuk piramida. Dengan teknologi itu ia menerapkan efisiensi lahan. Saat ini Winda menanam stroberi di lahan 3.500 m2.