Kebutuhan mocaf sebagai bahan baku industri di tanah air terus meningkat. Lihat saja Irawan Arief Budianto yang memproduksi 35 ton tepung modified cassava flour (mocaf) atau tepung singkong termodifikasi per bulan. Ketika memulai usaha mocaf pada 2018, produksinya baru 30 ton per bulan. Produsen mocaf di Kota Surakarta, Jawa Tengah, itu menjual Rp15.000 untuk industri dan Rp18.000—Rp20.000 per kg untuk pasar retail. Sebagian besar atau 75% permintaan mocaf berasal dari indutri.
Perniagaan mocaf itu memberikan omzet Rp525 juta per bulan. Menurut Irawan biaya produksi mocaf Rp12.000 per kg. Pemilik PT Mocaf Solusindo fokus menggarap pasar domestik sejak 2022. Semula pada 2020—2021 Irawan juga mengekspor rata-rata 200—300 kg tepung mocaf per bulan ke pasar retail Kanada.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten
Krisis pangan
Irawan tertarik menggarap pasar dalam negeri karena harga jual mocaf di pasar domestik dan ekspor tidak berbeda signifikan. Selain itu permintaan dari sektor industri jauh lebih besar. Selain itu menurut Irawan pasar mocaf untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga cenderung melonjak. Pasar domestik menghendaki tepung mocaf yang putih, bersih, murni, rasa dan aroma tidak tengik. Ia relatif mudah memenuhi standar mutu.

Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudisari menempuh cara serupa. Produsen mocaf di Desa Kemiri, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, itu semula juga rutin mengekspor 100 kg tepung mocaf per bulan ke Malaysia. “Awalnya pembeli dari Malaysia datang langsung dan meminta pasokan rutin pada awal 2018,” kata Ketua Kelompok Wanita Tani Ngudisari, Warti Sonto. Pembeli memperoleh informasi melalui daring atau online di sosial media.
Kini KWT Ngudisari memasok 2 ton tepung mocaf per bulan. Permintaan itu datang dari berbagai produsen camilan dan kue basah di Yogyakarta, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur), dan Kota Palembang (Sumatra Selatan). Pasar mocaf juga menyasar konsumen yang peduli akan kesehatan.
Tepung mocaf salah satu bahan pangan yang digadang-gadang sebagai alternatif ketika terjadi krisis pangan. Presiden Joko Widodo ketika peringatan hari pangan pada 16 Oktober 2022 menyatakan, akan ada banyak negara di dunia yang rakyatnya terancam menghadapi kerawanan pangan akut. Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri, mengatakan bahwa Menteri Pertanian Dr. Syahrul Yasin Limpo mengikuti pertemuan Joint Finance and Agriculture Ministers Meeting (JFAMM) di Washington, Amerika Serikat.
Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian negara-negara G20 akan bertemu dan membahas empat poin utama, membangun upaya anggota G20 untuk mengatasi kerawanan pangan dan gizi. Mereka juga mendukung secara politis untuk pemetaan, penyusunan kerangka acuan, dan tindakan konkret mengatasi permasalahan itu serta menjajaki aksi konkret untuk mengatasi krisis ketersediaan pupuk dan kerawanan pangan yang mendesak.

Menurut guru besar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut pertanian Bogor, Prof. Dr. Andreas Dwi Suantosa, M.S., data produksi beragam pangan seperti serealia saat ini tidak menunjukkan gejala akan menghadapi krisis pangan. Doktor alumnus Faculty of Life Science, Technische Universitat Braunschweig, Jerman itu membandingkan dengan era 1970 saat produksi serealia turun 10% berimbas meningkatnya harga pangan dunia.
Sementara itu pada 2020— 2021 produksi beragam serealia tidak menunjukkan gejala penurunan produksi. Bahkan, pada era itu produksi seralias merupakan yang terbanyak sepenjang sejarah. Adapun pada 2022 turun 1,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, produksi gandum justru naik 1%. Oleh karena itu, Andreas justru menyampaikan dunia tidak akan mengalami krisis pangan.
Masalah mocaf
Andreas mengatakan, mocaf memiliki potensi memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Alasannya budidaya singkong di Indonesia meluas hampir di semua provinsi. Bandingkan dengan gandum yang menjadi bahan baku tepung terigu, selama ini harus impor. Celakanya volume impor cenderung meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat impor gandum Indonesia hingga 10,3 juta ton senilai US$2.616 juta pada 2020. Angka impor itu konsisten di atas 10 juta ton sejak 2016. (lihat infografis Impor Gandum Melambung).

Menurut produsen kue di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Rina Setiawati, tepung mocaf bisa menggantikan 100% persen tepung terigu untuk beberapa olahan pangan seperti kue kering (kukis dan kue gulung) dan kue basah (brownies). Namun, produsen idealnya mengayak mocaf dahulu agar lebih halus. Jika tepung lolos saringan 100—150 mesh, rasa dari penganan olahannya sama dengan menggunakan terigu.
Namun, untuk jenis penganan tertentu seperti roti dan mi, mocaf belum bisa menggantikan tepung gandum 100%. Alasannya adonan membutuhkan gluten agar mengembang. Harap mafhum, mocaf tepung yang sohor bebas gluten. Menurut Andeas Santosa kendala utama mocaf pada harga. “Pasar itu sangat kejam, konsumen dan pengusaha lebih melihat aspek harga dan kualitas, aspek kesehatan dan aspek pangan lokal tidak jadi prioritas,” katanya.
Pengamat pangan itu menuturkan, harga tepung gandum Rp8.500—Rp9.000 per kg, sementara mocaf bervariasi di atas Rp30.000 kg. Artinya mocaf sulit bersaing dengan gandum. Menurut Irawan harga mocaf relatif tinggi lantaran produksi bahan baku yang rendah, rata-rata 20 ton per hektare setara 6 ton mocaf. Rendemen produksi mocaf ratarata 20%—30%. Satu kg mocaf berasal dari 3—4 kg ubi kayu.
Irawan mengatakan, harga mocaf bisa terkoreksi jika ada terobosan baru peningkatan produksi singkong. “Jika panen bisa 60—100 ton per ha harga bahan baku bisa lebih murah dan petani masih untung,” kata Irawan. Peningkatan produksi singkong amat memungkinkan. Petani di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Suharno Wasistaruno, menuai 100 ton per ha setara 30 ton mocaf.
Lonjakan produksi itu setelah ia menerapkan grafting atau sambung bibit singkong karet sebagai batang atas. Sementara itu batang atas berupa singkong varietas unggul seperti pandesi putih, gajah, atau kuning gading. Menurut Suharno sebagai batang atas tajuk singkong karet yang lebat amat mengoptimalkan fotosintesis. Oleh arena itu, pengisian umbi pun maksimal dan produksi melonjak berkali lipat.

Jika populasi 2.500 tanaman per ha artinya potensi panen bisa 100 ton per ha (setara 30 ton mocaf) masa budidaya 8—12 bulan. “Setelah dipanen pun batangnya bisa ditanam lagi dan potensi panen meningkat,” kata Suharno. Makin tinggi produksi, kian tinggi pula potensi produksi mocaf. Produksi fanatastis itu dengan sendirinya mengoreksi biaya produksi sekaligus harga jual tepung mocaf.
Menurut Andreas persoalan kedua mengubah lidah terkait cita rasa. Apakah mocaf bisa setara dengan olahan teirgu? “Jika bicara kebutuhan nasional selama tidak diatasi, akan sulit bersaing,” kata Andreas. Menurut Warti, “Hasil masakan tidak berbeda antara menggunakan terigu maupun mocaf, hanya masyarakat belum terbiasa,” katanya. Oleh karena itu, harus ada dorongan dan pendanaan kuat dari pemerintah agar masyarakat bisa berubah. Caranya dengan berjalan beriringan baik di hulu dan hilir. Satu sisi memperbaiki produksi di hulu dan di sisi lain mempersiapkan konsumen agar bisa menerima produk mocaf.
Sorgum
Bahan pangan lainnya yang potensial untuk memperkuat ketahanan pangan adalah sorgum. Tanaman anggota famili Poaceae itu optimal ditanam di beberapa daerah di Indonesia dan amat memungkinkan mengolahnya menjadi bentuk tepung seperti gandum. Bahkan,petani menuai dua bahan pangan sekaligus jika menanam sorgum dwiguna. Sorgum menghasilkan biji bahan tepung sekaligus nira dari perasan batang sehingga bisa menjadi nilai tambah petani.
Menurut petani di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Evi Ayunita, S.H., M.H., mengembangkan sorgum di lahan 75 ha. Rinciannya 25 ha pribadi, 10 ha kelompok tani binaan, dan 40 ha dari pemerintah daerah Cilacap. Populasi mencapai 30.000 tanaman per ha dengan hasil panen rata-rata 4—5 ton per ha. Evi memanen rata-rata 3 ton dari lahan 75 ha per bulan. Evi memerlukan Rp8—Rp6 juta untuk menanam sorgum di lahan 1 ha.
Alumnus Magister Hukum Universitas Indonesia itu menerima biji sorgum dari para petani binaan setelah 75 hari masa budidaya. Budidaya sorgum lebih singkat. Petani dapat 3—4 kali menanam per tahun. Bahkan, menurut Evi petani juga dapat meratun hingga 3 kali. Ratun kemampuan tanaman sorgum menghasilkan anakan baru setelah panen. Keunggulan ratun memberikan tambahan produksi per musim tanam, hemat produksi, tenaga kerja, dan waktu.

Singkat kata, sekali menanam sorgum petani tiga kali memanen. Jadi, petani yang menerapkan ratun pada sorgum menekan biaya pengolahan tanah, benih, dan tenaga kerja. Produksi pada panen ke-2 mencapai 5 ton dan panen ke-3 (3 ton) per ha. Para petani binaan menyerahkan biji sorgum ke Evi dengan harga Rp10.000 per kg. Evi lalu mengolah biji menjadi tepung untuk memenuhi permintaan pasar.
Rendemen dari bulir ke beras sorgum 80% dan susut 5% jika mengolah menjadi tepung. Artinya rendemen dari bulir sorgum menjadi tepung 75%. Harga beras sorgum Rp10.000 per kg. Sementara harga tepung sorgum Rp15.000 per kg. Harga gula cair dan bahan penyedap asal batang nira Rp25.000 per liter. Menurut Evi ceruk asar sorgum sangat besar. Permintaan dari sektor industri tepung di tanah air meminta 1.000 ton tepung sorgum per bulan.
Permintaan lain dari Timur Tengah mencapai 1.000 ton per bulan. Permintaan paling besar dari Italia yang mengehendaki pasokan 50.000 ton per bulan. Evi belum bisa memenuhi permintaan itu. Menurut Evi penganan seperti kue kering dan kue basah bisa menggunakan tepung sorgum.
Petani di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Bernadete Paulina Wutun, menanam sorgum di lahan 1.250 meter persegi. Perempuan 38 tahun itu menuai rata-rata 50—200 kg. Ia mengolah biji sorgum menjadi tepung hingga kue kering dan basah. Wutun menjual beras sorgum Rp30.000 per kg dan Rp35.000 per kg. Wutun mengatakan, tepung sorgum bisa menggantikan terigu 100% untuk olahan berupa kue kering, kue basah, dan sereal.