Subarman Basarah mengekspor 1.700 m3 kayu lapis (plywood) dan sekitar 500 m3 barcore setiap bulan ke Amerika Serikat, Spanyol, Jepang, dan Selandia Baru. Kayu lapis merupakan papan yang tersusun dari lembaran kayu mirip tripleks. Sementara barcore sejenis kayu lapis dari susunan potongan kayu yang direkatkan dengan pengeleman dan pengepresan. Barecore papan berukuran 1,2 m x 2,4 m berketebalannya 10 mm dan 13 mm. Sebagian besar bahan baku kedua produk ekspor itu berbahan baku kayu sengon Paraserianthes falcataria.
“Saat ini permintaan lebih banyak daripada kapasitas produksi,” kata direktur marketing PT Abhirama Kresna itu ketika Trubus berkunjung pada Januari 2022. Saat itu masih ada sekitar 3.500 m3 kayu lapis yang masih dalam tahap pengerjaan. Sementara produksi barecore yang masih antre mencapai 1.000 m3. Amerika Serikat dan Korea Selatan rutin membeli ke pabrik PT Abhirama Kresna.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

tanpa cela.
Isu lingkungan
Konsumen dari Amerika Serikat dan Korea Selatan menghendaki pembelian untuk tiga bulan sekaligus. Pembelian dari negara-negara Eropa biasanya satu kontainer per bulan. Saat ini yang tengah ramai India. “Mereka meminta 10 kontainer setiap bulan, kami hanya penuhi 6—7 kontainer,” kata Subarman.
Pabrik pengolahan kayu di Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu menambah kapasitas produksi pada 2022. Produksi kayu lapis menjadi 2.500 per bulan, semula 1.700 m3. Sementara kapasitas produksi menjadi 800—900 m3, sebelumnya hanya 500 m3 saban bulan. Bahkan jika ia memproduksi 1.000 m3 barecore per bulan pun pasti terserap pasar. Salah satu alasannya Jepang banyak memerlukan barecore.
Adapun penambahan produksi kayu lapis hingga 3.000 m3 memungkinkan, tetapi ia belum melihat pasarnya. “Itu dengan kondisi sekarang. Kalau kondisi kapal kembali normal, mungkin bisa lebih banyak lagi,” kata Subarman. Sebetulnya Subarman menambah mesin dan instalasi demi peningkatan produksi sejak 2020. Mestinya peningkatan kapasitas produksi mulai beroperasi pada 2021. Sayang pandemi korona menyerang.
Lazimnya kayu lapis berasal dari kayu alam seperti meranti. Tidak heran banyak perusahaan produsen kayu lapis di Pulau Kalimantan beberapa tahun lalu. Itu karena Borneo sumber kayu alam. Semula importir menolak produk berbahan sengon karena ringan dan berwarna putih. “Setelah sengon diperkenalkan, mulailah banyak yang meminta kayu sengon,” kata Subarman.

Ternyata selain ringan, sengon dianggap kuat dan berwarna lebih cerah. Masyarakat Eropa menyukai karakter kayu seperti itu. Sengon juga lebih ramah lingkungan karena merupakan hasil budidaya. Permintaan pasar ekspor terhadap kayu sengon terus melonjak sebagai bentuk apresiasi terhadap kayu budidaya. Harap mafhum, dunia mengharapkan hutan Indonesia terjaga. Oleh karena itu, kayu sengon hasil budidaya sebagai alternatif.
Ditambah lagi penebangan kayu alam kerap merusak lingkungan sekitar. “Isu lingkungan membuat pasar mancanegara menerima sengon ketimbang kayu-kayu alam. Mereka mengurangi pemakaian kayu alam dan beralih ke kayu yang lebih sustainable,” kata Subarman. Pemanfaatan kayu hutan berdampak banyak seperti penggundulan hutan dan fauna yang bergantung pada hutan menjadi tergusur.

Belum terpenuhi
Subarman mengatakan, spesifikasi kayu lapis dan barecore berbeda di setiap negara. Jadi, spesifikasi produk tergantung pembeli. Begitu pembeli memesan, Subarman dan tim baru memproduksi. Harap mafhum jenis tebalnya pun bervariasi. Kualitas (grade) pun beragam. Ada yang minta bagus, ada juga pembeli yang menghendaki kualitas biasa.
Permintaan yang berbeda itulah yang membuat pengerjaan kayu lapis dan barecoredi pabrik kelolaan Subarman berjalan setelah ada order masuk. Jepang meminta kualitas barecore terbaik. Cirinya permukaan halus dan tanpa mata kayu. Sebenarnya mata kayu hidup tidak apa. Yang tidak boleh mata kayu mati karena keropos. Sementara pasar Eropa menginginkan ukuran besar dan berkualitas bagus.
Sementara kualitas kayu lapis dan barecore ke Tiongkok dan Taiwan lebih rendah daripada Jepang dan negara-negera di Benua Biru. Subarman mengandalkan pasokan kayu sengon dari pemasok dan pekebun di sekitar pabrik. Kayu yang datang ke pabrik dalam bentuk potongan 260 cm dan 130 cm. Kayu berdiameter besar (lebih dari 25 cm) lebih disukai. Kondisi kayu lurus dan sedikit mata kayu.
“Jadi, kalau target kita sekian, bahan bakunya itu selalu kurang dari kebutuhan kita sehingga untuk bahan baku, kita masih perlu banyak,” kata Subarman. Oleh karena itu, ia meyakini budidaya sengon masih menjanjikan. Apa lagi sengon lebih cepat panen, yakni pada umur 4—5 tahun setelah tanam. Berbeda dengan kayu alam atau jenis kayu lain yang mesti menunggu beberapa tahun.
Banyak pabrik baru bermunculan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, dan Kalimantan menandakan peluang masih besar. Manajer
Pemasaran PT Hasil Albizia Nusantara, Karta Wirya, mengekspor 1.200—1.300 m3 kayu lapis setiap bulan ke Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis. Karta mengatakan, kapasitas produksi itu masih kurang. Jika kapasitas produksi bertambah dua kali lipat menjadi 2.400 m3 pun terserap pasar.
Karta menuturkan, sampai kapan pun prospek kayu lapis bagus. Meski pabrik produsen kayu lapis banyak, permintaannya pun banyak. Jadi, sebanding. Karta memerlukan sekitar 2.400 m3 log kayu sengon per bulan untuk memproduksi kayu lapis. Artiya rendemen sekitar 50%.

Laminated board
Selain kayu lapis, pasar mancanegara juga memburu produk lain berbahan sengon. Namanya finger joint laminated board (FJLB). FJLB berupa papan lebar dengan unsur penyusun potongan-potongan kecil sisa potongan kayu dari produk utama yang disambung menurut panjang dan lebar sesuai pesanan. Importir memanfaatkan FJLB antara lain sebagai bahan baku furnitur atau mebel.
PT Rimba Sentosa Persada mengekspor 20—30 kontainer FJLB per bulan ke mancanegara. Satu kontainer berisi 50—60 m3. Chief executive officer (CEO) PT Rimba Sentosa Persada, Radifan Wisnu Fadhlillah, mengatakan, kapasitas produksi bertambah 5 kali lipat dibandingkan dengan produksi pada 2016 yang hanya 6 kontainer per bulan. Bahkan Radifan berencana menambah kapasitas produksi FJLB hingga 60 kontainer per bulan pada 2023.
FJLB kreasi Radifan berbeda dari umumnya karena ukuran dan finishing sesuai pesanan konsumen. Menurut Radifan permintaan konsumen global belum terpenuhi meski ada peningkatan produksi. Alasannya kebutuhan satu produk berbahan sengon dengan ukuran tertentu mencapai 2.500 kontainer per bulan di Amerika Serikat.
Radifan enggan menyebutkan jenis produk itu. Beberapa perusahaan di Abang Sam hanya fokus pada produk itu. Trennya memang naik-turun. Namun, diperkirakan kebutuhan produk itu masih bertahan di angka 2.500 kontainer per bulan . Bahkan, bisa tembus hingga 3.000 kontainer per bulan karena sifatnya yang dekoratif. Itu permintaan dari Amerika Serikat saja yang menjadi pusat tren dunia.
Jika negara lain melihat produk itu dan tertarik, pasar pun makin berkembang. “Sebesar itu permintaan konsumen. Asalkan tahu produk akhirnya seperti apa dan itu bisa ditarik menjadi sebuah manufacturing plan yang selaras dengan permintaan. Otomatis permintaan selalu meningkat,” kata sarjana perdagagan (bachelor of commerce) alumnus Wollongong University, Australia, itu.
Produk sengon lain yang diminta pasar mancanegara berupa door blank yang sekilas mirip barcore. PT Kutai Timber Indonesia mengekspor 2.000—3.000 m3 door blank setiap bulan. Permintaan produk itu fluktuatif sesuai situasi papsar. Pabrik pengolahan kayu yang berlokasi di Kota Probolinggo, Jawa Timur, itu juga memproduksi kayu lapis berbahan sengon dan kayu alam.
Kapasitas produksi kayu lapis lebih dari 100.000 m3 per tahun. “Pasar ekspor sengon tidak ada masalah. Yang paling perlu diversifikasi produk. Intinya sengon salah satu jenis kayu yang diminati pasar. Mau dibuat produk apapun respons pasar cukup bagus,” Agus Setiawan dari PT Kutai Timber Indonesia.

Perkebunan meluas
Menurut Agus nilai plus sengon yakni tanaman kayu cepat tumbuh, density sedang, dan warna bagus. “Sekarang tren sengon kuat, banyak diversifikasi produk, banyak peruntukan, sehingga kebutuhan sengon luar biasa,” kata Agus. Dosen di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan,Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. sepakat, “Saking tinggi permintaan bahkan ada yang membeli dengan sistem ijon,” kata Yusuf.
Meski demikian bukan berarti mengebunkan sengon tanpa aral. Para pekebun di berbagai daerah menghadapi banyak kendala. Sekadar contoh karat puru menjadi ancaman besar. Cendawan Uromycladium tepperianum kerap berulah menyerang tanaman anggota famili Fabaceae itu. Celakanya gall rust alias karat puru tidak pandang bulu menyerang sengon, sejak di persemaian hingga tegakan besar. Cendawan itu menunggang angin sehingga perkembang biakannya amat cepat.
Belum lagi kesulitan membedakan ketiga jenis sengon, solomon, wamena, dan lokal. Produsen benih yang “nakal” memanfaatkan kesulitan itu dengan mengatakan sengon lokal sebagai solomon. Selisih harga bibit keduanya bisa mencapai Rp3.000. Di lahan sehektare, pekebun memerlukan 1.100 bibit. Namun, jika semua kendala teratasi pekebun menangguk laba besar hingga Rp56 juta per hektare (baca: Menghitung Laba sengon halaman 16).
Pantas tren tanaman kayu cepat tumbuh masih tetap baik. Lihat saja Yuno Abeta Lahay mengebunkan sengon hingga 250 hektare (ha) pada 2014—2015. Baru pada 2019 warga Bogor, Jawa Barat, itu berhenti menanam untuk mengevaluasi penanaman sebelumnya. Dokter alumnus Universitas Tarumanagara itu kembali menanam sengon pada 2022 dan bekerja sama dengan pekebun.
“Saya menanam 1—2 ha dengan akses lokasi yang mudah serta bibit dan perawatan yang tepat,” kata. Panen terakhir pada September dan Oktober 2021 menghasilkan 150 m3 kayu sengon. Saat itu harga kayu Rp1,4 juta per m3 sehingga Yuno beromzet Rp210 juta. Ia mengutip laba sekitar 40% setara Rp84 juta.
Saat menjadi narasumber acara The 6th Indonesian Lightwood Cooperation Forum (ILCF) secara virtual, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi, menyatakan, kayu ringan Indonesia lebuh unggul daripada negara pesaing. Alasannya melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem legalitas kayu terbaik yang diterima Euro Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).
Hal itu menjadi faktor yang membuat kayu ringan Indonesia lebih atraktif bagi konsumen di negara Eropa dan Amerika. Saat ini kayu ringan asal Indonesia berasal dari hasil perkebunan yang tidak merusak hutan. Selain itu, kayu ringan Indonesia yang umumnya berjenis sengon dan jabon, merupakan sahabat alam karena merupakan salah satu tanaman legum yang mampu menyerap emisi karbondioksida dan menyalurkannya menjadi nitrogen dalam tanah.
Alasan lain kayu ringan dalam negeri lebih unggul yaitu karena kita memiliki perusahaan pionir yang memproduksi produk kayu ringan yang inovatif. Industri kayu ringan juga mendukung ekonomi kerakyatan sehingga rumah tangga di pedesaan mendapatkan penghasilan tambahan dari menanam kayu sengon. Yang terpenting tidak ada kayu ringan di dunia yang pertumbuhannya seperti sengon atau jabon.
Dengan semua kelebihan itu Didi meyakini Indonesia memiliki kemampuan untuk merebut pasar global. “Diperlukan keberanian melakukan inovasi, sehingga pada akhirnya produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah dan diterima di pasar yang lebih luas,” ujar Didi.