Bambang Subekti girang bukan kepalang. Petani di Desa Sukamanah, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu memanen 65 ton porang di lahan 1,5 hektare (ha) pada Agustus 2021. Petani lain rata-rata memanen 30 ton di lahan dengan luasan sama. Bambang menanam porang berjarak rapat 30 cm x 30 cm sehingga populasi lebih tinggi. Lazimnya jarak tanam porang 100 cm x 100 cm.
Selain itu durasi budidaya lebih lama, yakni dua musim setara 16 bulan. Pada umumnya petani memanen umbi porang setelah 8 bulan budidaya. Namun, Bambang melipatgandakan masa budidaya sehingga ukuran umbi lebih besar, ratarata berbobot 3,9 kg. Ketika panen harga jual umbi segar mencapai Rp7.000 per kilogram (kg). “Harga cukup bagus karena mutu panen juga bagus,” kata pekebun porang sejak 2019 itu.

Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten
Tren dan pasar besar
Omzet Bambang dari penjualan umbi porang Rp455 juta. Pendapatan itu kian menggelembung jika Bambang mengolah umbi porang Amorphophallus muelleri menjadi irisan tipis atau cip. Menurut Bambang porang komoditas yang menjanjikan lantaran biaya produksi hanya Rp3.000—Rp3.500 per kilogram (kg). “Laba bisa 2 kali lipat dari biaya produksi,” kata pria kelahiran Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu.
Pantas saja Bambang memperluas penanaman. Pada November 2021 ia menanam kembali umbi porang di lahan 10 hektare. Jika tak ada aral, pria 62 tahun itu memanen umbi pada Juli 2022. Setahun terakhir kian banyak orang yang menanam porang seperti Bambang. Penanaman pun monokultur, intensif, dan meluas hingga ke wilayah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Padahal, semula porang banyak dibudidayakan di Jawa Timur, identik dengan tanaman di bawah tegakan dan tumpang sari.
Tanaman anggota famili Araceae kini menjadi komoditas nasional. Lihat saja Sarno, S.Pd., M.M.Pd. di Desa Kumba, Kecamatan Jagoibabang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ia menanam porang di lahan 2,5 ha sejak Juli 2020. Populasi rata-rata 21.000 tanaman per ha. Di Kabupaten Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, Ahmad Chairum, juga menanam porang sejak September 2021 di lahan 2 ha dengan populasi 15.000 tanaman.
“Panen mungkin sekitar 13 bulan lagi karena bibit berasal dari umbi katak,” katanya. Menurut Chairum porang komoditas menjanjikan karena kebutuhannya tinggi. Cahirum tidak khawatir kesulitan menjual saat panen. Pasalnya, pabrik atau eksportir justru mencari porang ke pekebun untuk memenuhi pasokan. Luas areal tanam porang di Indonesia pada 2020 mencapai 19.950 ha. Target luas panen pada 2021 seluas 47.641 ha.

Para pekebun di berbagai wilayah mengembangkan porang karena tergiur permintaan umbi yang besar. Omzet berniaga porang juga besar, hingga Rp185 juta per hektare (baca Trubus Maret 2020). PT Sanindo Porang Berkah di Bandung, Jawa Barat, rutin mengekspor 80 ton cip atau irisan umbi porang kering per bulan ke beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Menurut Dian Rahadian, S.H. 1 kg cip berasal dari 6—7 kg umbi segar.
Dian menuturkan, sebelum 2019 pasokan masih mengandalkan alam. Tanaman kerabat talas itu banyak tumbuh di hutan. Namun, kini Sanindo bermitra dengan 50 petani di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat agar produksi berkesinambungan. Perusahaan membeli umbi dari para petani Rp6.500 per kg. Dian mensyaratkan bobot umbi minimal 500 gram dan dipanen tepat saat kedaan dorman.
Menurut Dian Rahadian ceruk pasar porang amat luas dan tidak melulu ke Jepang. Pemanfaatannya pun bukan sekadar sebagai pangan. Beberapa negara mengolah menjadi pakan hewan peliharaan atau klangenan, bahan kosmetik, hingga industri nonpangan seperti lem bahkan pakaian antipeluru. “Jika ditotal permintaan dunia mungkin baru 20% yang terpenuhi. Dari permintaan dunia 80% didominasi Tiongkok,” kata Dian. Ceruk pasar besar lain dari Amerika Serikat dan Australia.
Tantangan porang
Komisaris Utama PT Citra Raja Pasundan, Ridwan Gumbira, mengatakan hal serupa. Ridwan mengatakan bahwa pasar Eropa juga mencari porang dalam bentuk kering dan tepung konjak. Permintaan dari negara-negara di kawasan Balkan seperti Serbia mencapai 120 ton cip kering per bulan. “Untuk cip kering rencana baru mulai ekspor akhir tahun, kapasitas baru 1% dari permintaan,” katanya.
Jika produksi rata-rata 20 ton per ha, perusahaan harus memanen 30 hektare setiap bulan untuk memenuhi permintaan dari satu importir. Ridwan menuturkan, “Produk cip kering harus bersih tanpa noda, kulit umbi wajib dibuang agar tidak menyebabkan noda.” Sayangnya, beberapa eksportir mengeringkan cip tanpa mengupas kulit umbi. Kadar air cip maksimal 10%, kadar air di atas 10% berpotensi menimbulkan cendawan.

Menurut Dian Rahadian pengeringan dengan matahari dan oven berbeda dari sergi harga jual. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Parahyangan itu mengatakan, pengeringan menggunakan oven menghasilkan cip lebih cerah dibandingkan dengan pengeringan matahari. “Pengeringan dengan matahari bisa 3 hari jika penyinaran sempurna, dengan oven cukup 1 jam,” katanya. Namun, baik dengan pengeringan atau oven semua tetap diterima pasar.
Selain cip PT Citra Raja Pasundan juga mengekspor 300 kg tepung porang per bulan. Perusahaan itu mengolah cip menjadi tepung yang kaya glukomanan. Menurut Ridwan permintaan tepung tak kalah besar. Ia menyebutkan permintaan tepung konjak dari Belgia dan Spanyol masingmasing mencapai 50 ton per bulan. Syaratnya tepung mesti bersih tanpa noda dengan kandungan glukomanan minimal 50%.

Satu kg tepung berasal dari 2 kg cip kering. Artinya untuk menghaslkan 50 ton tepung, Ridwan membutuhkan 100 ton cip dan harus memanen 600—700 ton umbi segar di lahan 30—40 ha. “Tantangannya mengolah umbi porang sesuai permintaan pembeli,” kata pria berumur 45 tahun itu. Ridwan menuturkan, berturut-turut mengolah porang dari umbi menjadi cip kering dan menjadi tepung konjak yang paling bagus mengandung 80—90% glukomanan. Sementara kandungan oksalat serendah mungkin.
Kabar baiknya teknologi di dalam negeri bisa mengolah produk sesuai permintaan pembeli mancanegara. Artinya Indonesia berpeluang besar mengisi permintaan porang langsung ke Eropa. Menurut eksportir di Banyuwangi, Jawa Timur, Andre Wijaya, tantangan lain bagi eksportir mesti mempersiapkan syarat ekspor. Pasalnya, eksportir tidak bisa sembarang mengambil porang pada 2022. Pekebun mitra harus teregistrasi demi syarat keterlacakan.
Syarat lain pekebun mitra mesti tahu waktu panen terbaik yaitu saat dorman sempurna ketika kandungan glukomanan tinggi dan kadar air rendah. Andre menuturkan, andaipekebun bisa memenuhi syarat itu maka ceruk pasar ekspor terbuka lebar. Harga porang di tingkat pekebun bisa meningkat hingga stabil. Pekebun tidak risau fluktuasi harga. Andre menegaskan, pada 3—5 tahun mendatang panen porang serempak di Indonesia umbi pasti terserap. “Tantangannya melakukan ekspor secara langsung ke negara tujuan,” kata Andre.

Harap mafhum, banyak negara peminat porang belum mengetahui Indonesia sebagai negara penghasil porang. Skema yang terjadi selama ini Indonesia mengeskpor dalam bentuk cip kering, kemudian negara lain mengolah dan memasarkan ulang dalam bentuk tepung. Mengolah porang menjadi tepung hingga mutu terbaik di dalam negeri bisa jadi solusi memangkas tata niaga itu sehingga nilai tambah tidak jatuh ke luar negeri.
Di pasar domestik beberapa produsen mengolah tepung porang menjadi beras analog. Harga beras fortifikasi berbahan dasar porang juga fantastis. Menurut Dian Rahadian harga beras fortifikasi berbahan dasar porang hingga Rp300.000 per kilogram.