Produsen makanan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, PT Satoimo Sulawesi mengekspor 18 ton talas jepang atau satoimo Colocasia esculenta var. antiquorum beku ke Jepang pada medio 2019. Menurut Direktur PT Satoimo Sulawesi Sukses, Andi Arifuddin Paulangi, pengiriman berupa umbi beku untuk menjaga kualitas. Sebelumnya ia mengirim sampel umbi segar tetapi kualitas menurun setiba di Jepang. Rendemen produk beku berkisar 20—27%.
Untuk memproduksi 1 kg umbi beku, Arifuddin memerlukan umbi segar 4—5 kilogram (kg). Sekali pengiriman dengan kuota 18 ton, ia memerlukan 72—90 ton umbi segar. Pasokan umbi segar berasal dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Pinrang, Mamuju Tengah, Soppeng, Wajo, Luwu Timur, Maros, dan Gowa. Produksi umbi rata-rata 1 kg per tanaman. Beberapa petani dapat menghasilkan umbi 2—3 kg per tanaman.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

Kesempatan Indonesia
Pada seminar daring yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Ditjen TP Kementan), Arifuddin menyebutkan Kabupaten Soppeng menghasilkan umbi satoimo terbanyak selama 2020 yakni 300 ton. Menurut Arifuddin kebutuhan satoimo di Jepang cukup tinggi. Pasokan dari Indonesia terkendala kuantitas, kualitas, kontinuitas, dan harga.
Saat ini Tiongkok eksportir nomor satu untuk Jepang. Hampir 90% kebutuhan Jepang berasal dari Negeri Tirai Bambu itu. Tiongkok mampu memproduksi satoimo dalam jumlah besar dengan kualitas terstandar. Eksportir Tiongkok pun dapat menjaga kontinuitas pasokan dengan harga yang kompetitif. Menurut perwakilan Tokai Denpun, Ajat Sudrajat, Indonesia masih berpeluang besar mengisi pasar satoimo di Jepang.
Musababnya pasokan dari Tiongkok menurun hampir separuh dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Pada 2012, Tiongkok memasok 38.486 ton dan pada 2020 hanya 23.064 ton sehingga berkurang 15.400 ton. Hal itu lantaran masyarakat Tiongkok juga mulai mengonsumsi satoimo seperti di Jepang. Penurunan pasokan dari Tiongkok itu dapat menjadi peluang bagi Indonesia. Bahkan Ajat meyakini sejatinya kebutuhan Jepang lebih dari pasokan yang ada saat ini. Perwakilan paguyuban petani satoimo Agro Lawu International, Andi Christianto, menyatakan hal serupa. Andi salah satu eksportir pionir satoimo ke Jepang pada 2006. Saat itu belum banyak pelaku ekspor maupun petani yang menanam. Pascaekspor perdana itu, permintaan dari Jepang mencapai 45.000 ton per tahun atau 3.750 ton per bulan.

Padahal saat itu Jepang tengah bekerja sama dengan Tiongkok yang gencar membudidayakan satoimo di lahan 85.000 hektare (ha). Dengan menurunnya pasokan dari Tiongkok, Andi optimis peluang ekspor terbuka lebar. Pada 2015, ia sempat menjajaki permintaan satu pembeli dari Jepang yang meminta kiriman 1 kontainer (25 ton) per bulan. Menurut Andi, untuk mendapatkan 25 ton umbi perlu penanaman di lahan dua ha dengan total populasi 40.000 tanaman.

Standar ekspor
Andi mengatakan, “Jadi 40.000 tanaman berangkat dari bibit 4.000 tanaman, katakan 5.000 tanaman. Itu setara 0,25 hektare untuk kebun bibit.” Jadi satu kontainer umbi bisa diperoleh dari dua ha kebun bahan baku dan 0,25 kebun bibit. Bisa dibayangkan bila permintaan 3.750 ton per bulan. Itu setara 150 kontainer.
Dengan asumsi satu kontainer berasal dari lahan dua ha, kebun bahan baku yang diperlukan yakni 300 ha dan kebun bibit 37,5 ha saban bulan. Lantaran belum siap dengan kebutuhan bibit, lahan, dan jaminan kontinuitas, Andi terkendala memenuhi permintaan yang sangat besar itu.Menurut pengamatan Andi saat ini penanaman di Pulau Jawa sekitar 15—20 ha per tahun dan Pulau Sulawesi 3 ha per bulan setara 36 ha setahun.
Perwakilan perusahaan perdagangan asal Jepang, Tokai Denpun, Ajat Sudrajat,
menyebutkan ada beberapa aspek kualitas yang dinilai dari sampel umbi (blanched satoimo) dari eksportir di Indonesia.
Aspek rasa sudah sesuai standar tetapi tekstur dan warna belum konsisten. Ajat mengatakan pada seminar daring yang diadakan oleh Ditjen TP Kementan, tekstur yang diinginkan lembut dan lengket. Sayangnya masih ada umbi bertekstur keras. Kriteria warna permintaan pasar ekspor yaitu warna natural yang stabil. Ajat menemukan masih adanya variasi warna yakni kemerahan, kehijauan, dan ungu.Perubahan warna itu dapat dipengaruhi oleh perlakuan budidaya dan pascapanen.

Penanaman berkembang
Bentuk umbi yang dikehendaki biasanya bulat, natural, dan heksagonal dengan bobot bervariasi 5—25 gram per umbi. Sejak 11 November 2020, Jepang memberlakukan kebijakan baru yakni memberhentikan impor satoimo berupa tanaman hidup dan umbi segar dari Indonesia. “Alasannya ada kontaminasi nematoda Rodopholus similis pada produk segar,” kata Atase Pertanian Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang, Sri Nuryanti.
Produk diizinkan berupa olahan beku atau kering. Adapun konsumen satoimo di Jepang meliputi 3 segmen yakni rumah tangga, industri (hotel, restoran, dan katering), dan pengolah yang biasanya menyuplai restoran cepat saji. Satoimo disajikan sebagai makanan pendamping selain beras seperti dicampur kuah dashi—skaldu ikan—atau pelengkap pada udon dan soba.
Produsen makanan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, PT Indowooyang, mulai melirik satoimo sebagai salah satu produk yang tengah dikembangkan. Manajer Budidaya PT Indowooyang, Putut Prastowo, mengatakan, “Ada permintaan pasta untuk akhir 2021. Produksinya masih sebatas untuk sampel.” Produksi pasta salah satunya sebagai strategi mengatasi permasalahan variasi warna. Bila penawaran berupa pasta itu sesuai ekspektasi pembeli di Jepang, Putut memerlukan bahan baku dalam jumlah besar dan kontinu.
Nun di Kecamatan Singosari, Kota Malang, Jawa Timur, Mayor Cpl Arif Setiawan, menanam satoimo sejak 2008. Ia memperoleh bibit pertama kali dari Andi Christianto. Arif memanfaatkan lahan kosong di tempat dinasnya di Kecamatan Singosari, Kota Malang. Selama berdinas di Malang itu, Arif bekerja sama dengan beberapa petani di Malang, Mojokerto, Kediri, Blitar, Ponorogo, Bondowoso, dan Jember.
Pada 2016, Arif pindah dinas ke Kota Semarang, Jawa Tengah. Mitra petaninya pun menyebar di Semarang dan sekitarnya. Hingga 2020, Arif dan rekan-rekan petani menjual hasil panen seharga Rp2.500— Rp2.800 per kg. Harga yang tergolong rendah itu membuat satu per satu petani mundur. Arif memutuskan untuk tak lagi menanam tetapi fokus membuka pasar sekaligus untuk memperbaiki harga. Ia membeli umbi segar dari petani seharga Rp5.000 per kg.

Olahan lain
Sejak itu, petani mulai bergairah dan mau menanam rutin. “Saya memberanikan diri menjadi pengepul. Meski pasar ekspor belum berhasil kami tembus,” kata Arif. Penjualan domestik meliputi pasar tradisional di Semarang, pasar modern Hortimart di Bawen, dan lokapasar daring. Arif mengemas umbi per kilogram dalam wadah jaring layaknya mengemas buah-buahan. Total jenderal ia menyerap hasil panen petani dua ton per bulan.
Salah satu petani mitra Arif Setiawan adalah Imam Fauzi. Petani di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu menanam satoimo sejak 2020. Menurut Imam, menanam satoimo lebih menguntungkan daripada singkong. Panen singkong paling cepat 6 bulan dan harganya Rp2.000 per kg. Sementara itu, panen satoimo maksimal 5 bulan dengan harga jual Rp5.000 per kg.
Imam menumpangsarikan satoimo dengan jagung atau bawang merah. Dari populasi 1.500 tanaman, ia bisa memanen hingga 3 ton umbi segar. Artinya satu tanaman dapat menghasilkan umbi 2 kg.
Satoimo tak hanya dikonsumsi berupa umbi, tetapi juga dalam bentuk kapsul. Pekebun di Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Tono Pirmansah, menanam satoimo secara organik untuk bahan baku herbal. Tono menjual satoimo berupa cip (chip) yang dihargai Rp60.000 per kg. Produsen herbal ekstrak satoimo di Kota Bandung, Jawa Barat, menyerap cip produksi Tono.
Menurut Putut sejatinya potensi pasar satoimo besar bahkan tiga kali lipat dibandingkan dengan ubi jalar. Sri Nuryanti mengatakan peluang pasar satoimo terbuka lebar. Tidak hanya umbi rebus. Kolagen dalam satoimo memiliki komponen antosianin yang berpotensi dikembangkan sebagai bahan pewarna makanan alami. Warna yang dihasilkan mulai dari hijau, kemerahan, hingga cokelat.
Selain itu, ada peluang mengekspor satoimo sebagai tanaman hias sebab masih tergolong kerabat aroid. Menurut Nuryanti, orang Jepang menyukai tanaman sebagai makanan jiwa.