Ali Mustofa tidak lantas menjual 2.000 kg jamur tiram segar hasil panen dari kumbungnya. Petani jamur tiram dari Desa Ngembes, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, itu justru mengeringkan jamur tiram di bawah terik matahari. Jamur anggota famili Tricholomataceae yang semula berkadar air 25% turun menjadi 14%. Petani jamur sejak 2010 itu lantas mengolah menjadi
200 kg tepung untuk memasok eksportir di Jakarta.
Volume pasokan 100—200 kg per pekan atau maksimal 800 kg serbuk jamur tiram per bulan. “Permintaan rutin 500 kg per pekan,” kata Ali. Petani berumur 38 tahun itu memperoleh harga Rp200.000 per kg serbuk. Harga itu menguntungkan dibandingkan dengan menjual tiram segar. Pengolahan jamur tiram berendemen 10%. Sekilogram tepung berasal dari 10 kg jamur segar berkadar air 25%. Harga jamur tiram segar di tingkat petani kini Rp12.000 per kg.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

Pasar domestik
Menurut Ali tepung jamur tiram untuk memasok pasar Tiongkok. “Memasok pasar ekspor sebetulnya menguntungkan,” kata Ali. Sayangnya, pengiriman terhenti karena pembeli menghendaki pasokan lebih besar. Selain tepung ada juga permintaan baglog rutin dari Korea Selatan. Namun, Ali belum memenuhi permintaan karena masih proses penjajakan. Harap mafhum, Ali memfoksukan pasokan untuk 50 petani mitra yang memerlukan 300.000 baglog per bulan.
Kini Ali memasarkan 1.000 kg jamur segar per pekan ke Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Harga jual Rp12.000 per kg sehingga beromzet Rp48 juta per bulan. Sebetulnya permintaan jamur tiram lebih besar. Namun, Ali belum sanggup memenuhinya. Galih Umar Alim Rasyid, S.Kom dari CV Asa Agro Corporation menghadapi hal serupa. Perusahaan di Cianjur itu baru memproduksi 3 ton jamur setiap hari. Sementara itu permintaan mencapai 10—12 ton per hari.

Menurut Kepala Bagian Umum, CV Asa Agro Corporation, Akhmadi Sutarman, demi menjaga pasokan mereka mesti memproduksi hingga 15.000 baglog per hari. Akhmadi menuturkan, hasil panen rata-rata 400 gram jamur per baglog berbobot 1,2 kg. Artinya nilai Biological Efficiency Ratio (BER) 30% terbilang tinggi. Pekebun bisa memanen perdana tubuh jamur tiram rata-rata pada hari ke-60, panen berikutnya berselang 14 hari. Harga jual jamur Rp11.000—Rp12.000 per kilogram di tingkat petani.
Galih Umar mengatakan, pasar jamur olahan pun amat potensial. “Jamur bisa diolah menjadi krispi, satai, naget, dan pempek,” kata Sarjana Komputer alumnus Universitas Bina Nusantara itu. Galih mengolah jamur yang tidak lolos sortir menjadi beragam penganan. “Tidak lolos sortir bukan berarti tidak layak konsumsi,” katanya.
Pekebun lain di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Elsa Damayanti, S.P., mengatakan, serapan pasar segar tiram dalam negeri sangat potensial. Kapasitas produksi Elsa hingga 400 kg per hari pun belum mencukupi permintaan pasar. “Andai produksi hingga 1 ton per hari pun masih bisa terserap,” kata pekebun sejak 2021 itu. Oleh karena itu, pekebun dengan 19 kumbung berkapasitas rata-rata 20.000 baglog per kumbung itu berencana menambah kapasitas produksi hingga 25 kumbung.

Dataran rendah
Menurut Elsa Damayanti membudidayakan tiram relatif rumit. Permasalahan klise seperti serangan hama penyakit dan tata niaga yang panjang menjadi kendala berkebun jamur tiram (baca: Cegah Tiram Morat- Marit halaman 24—25). Jika semua masalah teratasi, pekebun mendapat keuntungan optimal. Apalagi kini pekebun di dataran rendah, bahkan di tepi pantai berpeluang mengebunkan jamur tiram. Lihat saja Ade Eri Surahman yang membudidayakan jamur tiram berjarak 500 meter dari pantai.
Pekebun di Desa Ujunggebang, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, membangun tiga kumbung berukuran 5 m x 12 m berkapasitas 4.000—12.000 baglog. Lokasi kumbung berketinggian 0—20 meter di atas permukaan laut. Dari kumbung itu, Ade memetik 10—20 kg per hari. Permintaan pasar Kecamatan Jatibarang, Indramayu, sampai 1 ton per hari. “Pasokan dari petani lokal belum memenuhi permintaan,” katanya.
Lazimnya sentra jamur tiram di dataran tinggi karena menghendaki suhu di bawah 30oC. Menurut Ade kunci budidaya jamur di dataran rendah dengan inovasi seperti penggunaan bibit jamur dataran rendah dan teknologi tepat guna (baca: Pilihan Pas di Daerah Panas halaman 18—19).

Rasyid, S.Kom.
Ade menuturkan, harga jual jamur di dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran tinggi. Harga di tingkat petani Rp14.000 per kg jika memasok ke lapak. Di Indramayu setidaknya ada 250 lapak pedagang jamur krispi. Mereka meminta rutin masing-masing 20 kg per hari dengan harga beli setara eceran. Artinya permintaan selain dari lapak pun bisa mencapai 500 kg per hari.
Sementara itu harga eceran Rp18.000 per kg. Bandingkan dengan harga jamur tiram dataran tinggi di tingkat petani yang rata-rata Rp12.000 per kg. Oleh karena itu, para pekebun jamur di Kabupaten Indramayu lebih tertarik memasok pasar eceran.

Berkelanjutan
Menurut ahli agribisnis di Universitas Padjadjaran, Dr. Tomy Perdana, S.P., M.M., CSCM, permintaan jamur tiram meningkat seiring dengan kesadaran kesehatan. “Permintaan terutama untuk pemenuhan protein nonhewani dari penganut gaya hidup vegan,” kata doktor Teknologi Industri Pertanian alumnus Institut Pertanian Bogor itu.
Tomy menuturkan, mesti banyak inovasi agar bisnis jamur tiram berkelanjutan. “Bukan sekadar inovasi produk, tetapi inovasi di sisi model bisnis,” kata Tomy. Menurut Tomy aspek pasar menentukan keberlanjutan bisnis. Magister Agribisnis alumnus Institut Pertanian Bogor itu mencontohkan pasar ekspor baru. “Jika sebelumnya hanya memasok ke negara Asia, model bisnis baru berarti mencari pasar baru misal ke Jerman dan Amerika Serikat,” kata Tomy.

Menurut Tomy pasar domestik pun bisa lebih dikembangkan antara lain edukasi manfaat jamur sebagai substitusi daging. Pasalnya produksi dan harga jamur jauh lebih murah dibandingkan dengan daging. “Saat isu daging bermasalah seperti adanya virus penyakit mulut dan kuku (PMK), edukasi jamur sebagai pengganti daging bisa masuk,” katanya. Produsen berinovasi mengolah jamur menjadi daging burger dan terserap pasar (baca: Olahan Anyar Jamur Tiram halaman 22—23).
Barulah setelah konsumen teredukasi mulai merambah ke inovasi produk. Sekadar contoh CV Asa Agro Corporation yang mengembangkan tiram berwarna cokelat. “Permintaan jamur cokelat hingga 800 kg per hari,” kata Galih. Itu baru permintaan dari Kota Bandung, Jawa Barat dan sekitarnya. Pasalnya, konsumen wilayah Jakarta dan sekitarnya belum terlalu mengenal jamur cokelat. “Perlu edukasi konsumen, permintaannya masih potensial terus tumbuh,” katanya.
Menurut Galih cita rasa jamur cokelat sebetulnya lebih lezat dibandingkan dengan jamur putih. Harga jualnya pun lebih mahal mencapai Rp20.000—Rp25.000 per kg di tingkat petani. Namun, produktivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan jamur tiram putih. Hasil panen rata-rata 240 gram dari baglog berukuran 1,2 kg. Artinya Biological Efficiency Ratio (BER) hanya 20% lebih rendah jika dibandingkan dengan tiram putih yang ratarata 30%. “Adanya diversifikasi produk tentu baik agar pangsa pasar jamur tiram makin luas,” katanya.