Umur tanaman avokad miki di lahan Giyanto baru 1,8 tahun ketika panen perdana pada Maret 2022. Petani di Desa Gandapata, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, itu menuai 6 ton avokad. Populasi tanaman produktif 616 pohon, sedangkan 484 pohon lain berumur lebih muda dan belum berbuah. Volume produksi 6.000 kg. “Banyaknya buah masih bervariasi sekitar 16—50 buah per tanaman,” kata Giyanto.
Namun, Giyanto hanya menjual 3.000 kg, sebagian buah lain dibagikan kepada kerabat, karyawan, dan kolega untuk menguji mutu buah dan preferensi konsumen. Ia menjual buah Rp40.000 per kg. Petani 42 tahun itu beromzet Rp120 juta pada panen perdana. Menurut Giyanto biaya perawatan Rp100.000 per tanaman per tahun. Artinya biaya perawatan tahunan itu setara penjualan 2—4 kg avokad.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten
Tren miki
Selain Giyanto, pekebun lain yang menikmati laba avokad adalah Agung Tri Wibawa, S.Pt. Pekebun di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, itu tak tanggung-tanggung membudidayakan avokad di lahan 25 ha sejak 2019. Total populasi 7.500 tanaman. Sebanyak 3.500 tanaman (46%) jenis miki. Umur tanaman rata-rata 2—3 tahun. Panen perdana pada umur 2 tahun menghasilkan 10—20 kg per pohon per tahun. Tahun berikutnya, produksi 20—30 kg per pohon.

Sarjana Peternakan alumnus Universitas Diponegoro itu mengatakan, avokad miki yang berproduksi mencapai 80 tanaman. Pada panen terakhir (umur 2 tahun) pohon-pohon anggota famili Lauraceae itu menghasilkan 20 kg per tahun. Jangankan memasok pasar swalayan, Agung tidak sempat “membawa” buah avokad keluar kebun. Konsumen berdatangan ke kebunnya untuk memetik sendiri buah tua berciri kulit hijau kusam dan berbentuk bulat itu.
Semua produksi buah terserap pasar. Padahal, Agung menjual buah avokad itu Rp40.000—Rp60.000 per kg. ”Ada yang membeli 1—2 kg, ada juga yang mengambil hingga puluhan kilogram,” ujar kelahiran Klaten, Jawa Tengah, pada 1979 itu. Baru panen perdana, pekebun 43 tahun itu menangguk omzet Rp64 juta. Agung menuturkan, biaya produksi hingga umur 3—4 tahun mencapai Rp1,2 juta per pohon.
Pada umur 4 tahun, tanaman 2 kali berbuah, yakni 20 kg pada umur 3 tahun dan 30 kg pada musim kedua (4 tahun). Total jenderal Agung menuai 50 kg. Omzetnya Rp2 juta per pohon jika harga jual paling rendah, Rp40.000 per kg. Dengan kata lain pekebun untung Rp800.000 per pohon pada tahun ke 3—4. Keruan saja panen mendatang produksi melonjak seiring pertambahan umur pohon. Lazimnya pada umur 5 tahun, produksi mencapai 50 kg per pohon per tahun.
Avokad miki menjadi pilihan para petani. Selain Agung dan Giyanto, banyak pekebun lain yang menanam avokad miki. Sekadar menyebut beberapa di Kota Semarang, Jawa Tengah, ada Anang Eko Wahyudi, dr. Lie Hermanto (Kabupaten Serang, Banten), Dodi Andria (Subang, Jawa Barat), dan Suandi (Jember, Jawa Timur). Bahkan seorang pekebun menebang ratusan avokad jenis lain dan menyambung dengan entres miki untuk mempercepat produksi.

Pantas jika permintaan bibit cenderung melonjak. Menurut penangkar tanaman buah di Cijantung, Kecamatan Pasarebo, Jakarta Timur, Eddy Soesanto, bibit avokad miki masih nomor satu yang paling dicari pekebun. Menurut Eddy miki bisa dibilang pelopor avokad di dataran rendah. Harap mafhum, semula avokad dikenal masyarakat sebagai buah di dataran tinggi. Masyarakat menanam 1—2 pohon di pekarangan atau belum mengebunkan secar intensif.
Penangkar bibit avokad miki di Kelurahan Srengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Ahmad Fahrizal, mengatakan bahwa sejak 2014 permintaan bibit avokad selalu meningkat saban tahun. Pada 2021 ia bisa menjual 20.000 bibit avokad miki per tahun. Pada tahun sebelumnya Ahmad hanya bisa menjual 10.000 bibit miki. Lonjakan permintaan bibit hingga 100%.
Pilihan petani
Manajer Toko Trubus, Udi Yuswanto, menuturkan bahwa permintaan bibit avokad miki termasuk yang terbesar. Penjualan Toko Trubus mencapai 9.147 tanaman pada 2019. Ketika pandemi korona pada 2020, permintaan tetap tinggi, yakni 10.746 bibit. Setahun berselang, penjualan kembali melonjak, yakni 14.136 bibit. Udi mengatakan, bibit avokad miki salah satu yang digemari konsumen.
Mengapa mereka memilih avokad miki? Giyanto mengatakan, “Menjadi avokad juara 1 pada Lomba Buah Unggul Nasional (LBUN) 2017 salah satu pertimbangan pekebun.” Penyelenggara LBUN itu Majalah Trubus. Kelebihan lain, miki bersifat genjah, yakni panen pada umur kurang dari 2—3 tahun. Di lahan Giyanto miki berbuah perdana pada umur 18—20 bulan.
Selain genjah, miki juga legit. Menurut Agung cita rasa miki paduan manis, gurih, dan legit cocok bagi konsumen Indonesia. “Kelebihan itu membuat permintaan dan serapan pasar tinggi,” kata Agung. Menurut Eddy sebetulnya banyak jenis lain yang lebih enak. Namun, avokad asal Ciganjur, Jakarta Selatan itu memenuhi berbagai kriteria seperti ukuran buah medium serta cita rasa manis, legit, dan pulen sehingga masuk ke semua kalangan.

Agung mengatakan, dari segi ukuran buah (300—500 g), tekstur, warna daging seperti mentega, serta cita rasa gurih dan manis amat cocok bagi lidah konsumen. Pemilik Kebun Buah Nusantara (KBN) itu mengatakan, secara tidak langsung miki paling dahulu diuji multilokasi oleh para pehobi di beberapa daerah di Indonesia dan hasilnya positif. “Di tanam di berbagai ketinggian pun masih tetap genjah dan produktif, hanya sedikit berbeda cita rasanya,” kata Agung. Jika ditanam di dataran tinggi lazimnya tekstur pulennya berkurang, tetapi cita rasa manis lebih muncul.
Meski demikian bukan berarti miki itu sempurna. Agung mengatakan, “Miki pun ada kekurangangan seperti biji besar, sehingga edible portion (porsi yang dapat dikonsumsi, red) rendah.” Pekebun di Desa Ciapus, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Zekky Bachri, menuturkan, avokad miki berkulit tipis sehingga rentan serangan lalat buah. Keruan saja pekebun dapat mencegahnya antara lain menjaga sanitasi lahan (baca: Titik Lemah Kulit Tipis halaman 16—17).
Ali Rahman di Cibubur, Jakarta Timur, menanam bibit miki hasil perbanyakan grafting. Miki sebagai batang atas. Namun, dalam perkembangannya justru bawang bawah yang tumbuh. Lokasi kebun Ali di Subang berjarak hampir 115 km dari rumahnya. Akibatnya ia jarang menengok kebun. Celakanya pegawai di kebun membiarkan batang bawah yang tumbuh.
Tantangan
Jika mampu mengatasi beragam aral, pekebun memperoleh laba besar. Pekebun avokad miki di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, Anang Eko Wahyudi, menanam 25 avokad miki di lahan 1.500 m2 pada 2019. Tanaman berumur 2,5 tahun itu panen perdana. “Panen bisa 50 buah per tanaman,” kata Anang. Tenaga kesehatan di Kota Semarang itu menjual hasil panen ke komunitas dan sesama kolega. Harga jual Rp35.000—Rp40.000 per kg. “Dari segi kualitas buah sudah bagus, ACEH bahkan sudah ada permintaan untuk salah satu toko buah di Kota Semarang,” kata Anang. Pada 2021 Agung menyurvei pasar avokad. “Berdasarkan survei kami, pasar siap menampung avokad miki baik ditanam di dataran tinggi atau rendah,” katanya.

umur 3 tahun.
Menurut Manajer Pengembangan Bisnis PT Laris Manis Utama, Vendi Tri Suseno, STP. kini avokad menjadi buah wajib. Posisinya setara dengan buah meja seperti melon dan semangka. Menurut Vendi PT Laris Manis Utama masih kekurangan sekitar 17 ton avokad per pekan dari total permintaan 20 ton. Kriterianya berdaging seperti mentega, bobot seragam minimal 300 gram, kulit mulus tanpa cacat atau luka dan citarasa terdapat sedikit manis.
Vendi menuturkan, pekebun harus mengetahui kriteria panen tepat sehingga setelah sampai di tangan konsumen buah avokad bisa matang sempurna. Pemilik katering sehat di Kota Bandung, Jawa Barat, John Gideon, berpendapat sama. Pasalnya konsumen menyenangi avokad yang tidak memerlukan pemeraman lama. Miki memenuhi kriteria itu. Pasokan katering John saat ini 500—1.000 kg avokad saban bulan. Padahal, permintaan dua kali lipatnya.
Konsumsi avokad rata-rata Indonesia memang masih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Australia dan Selandia Baru. Data dari IndexBox pada 2019 menunjukkan konsumsi per kapita avokad Indonesia hanya 1,71 kg per tahun. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan Australia (3,58 kg) dan Selandia Baru (3,06). Namun, permintaan avokad dalam negeri itu tentu kian tumbuh seiring meningkatnya kesadaran konsumen akan gaya hidup sehat.
Menurut peneliti dan pemerhati avokad di Kota Bogor, Jawa Barat, Dr. Mohamad Reza Tirtawinata, secara umum ada 4 kriteria pangsa pasar avokad. Pertama jenis avokad untuk industri yang menghendaki ukuran buah besar, produksi tinggi, dan edible protion atau daging buah banyak. “Avokad untuk industri tidak terlalu menghendaki cita rasa istimewa karena akan dicampur dengan aneka bahan lain,” kata Reza.
Doktor alumnus Institut Pertanian Bogor itu menambahkan, jenis lainnya untuk kebutuhan penyulingan atau minyak avokad dan avokad untuk batang bawah dalam perbanyakan tanaman. Jenis keempat merupakan avokad untuk buah meja. Kriterianya berbobot di bawah 400 gram dan cita rasa buah enak sehingga bisa dikonsumsi tanpa tambahan bahan lain. “Ukuran ideal avokad untuk buah meja jangan terlalu besar agar bisa habis sekali konsumsi,” katanya. Avokad miki memenuhi kriteria itu. Kini ia menjadi pilihan petani dan pasar.