Gula cair asal singkong berindeks glikemik 55. Bandingkan dengan indeks glikemik gula tebu yang mencapai 68. Indeks glikemik menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan. Pantas kian banyak orang yang mengonsumsi gula cair asal singkong. Produsen mengolah gula itu dari umbi singkong atau tepung tapioka. Pati singkong sejak lama menjadi bahan baku dekstrosa, maltosa, atau gula cair.
Bahan-bahan itu diperlukan industri makanan dan minuman. Saking perlunya, industri makanan dan minuman rutin mendatangkan tapioka bahkan singkong segar dari mancanegara. Sekilogram singkong menghasilkan 120—200 g pati. Sekilogram pati menghasilkan 700—800 g gula cair. Menurut periset Teknologi Pascapanen Balai Besar Pacapanen Pertanian, Agus Budiyanto, S.T.P., M.P., pembuatan gula cair dari tapioka menggunakan teknik enzimatis.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

Tiga hari
Agus Budiyanto mengatakan, proses produksi gula singkong meliputi likuifikasi, sakarifikasi, pemucatan, dan penyaringan. Pengolahan itu bisa dilakukan dengan peralatan sederhana. Pada tahap likuifikasi, enzim alfa amilase mengurai pati menjadi dekstrin. Produsen mencampurkan 1 bagian tapioka dan 3 bagian air. Selanjutnya larutan itu dipanaskan dalam suhu 95—1050C. Agus menganjurkan pencampuran enzim sebelum pemanasan untuk mempermudah pengadukan. “Tanpa enzim, larutan tapioka cepat sekali mengental menjadi lem kanji sehingga menyulitkan pengadukan,” katanya. Tingkat keasaman (pH) larutan dipertahankan pada 6,2—6,4 dengan penambahan natrium hidroksida atau kalsium hidroksida. Proses selama sekitar 1 jam itu merombak tapioka menjadi larutan dekstrin. Untuk memastikan, lakukan uji yodium setelah proses melewati satu jam.
Teteskan pereaksi iod ke dalam sampel larutan. Jika warna putih sampel berubah kecokelatan, tandanya pati terurai menjadi dekstrin. Tahap berikutnya, sakarifikasi, menggunakan enzim amiloglukosidase untuk mengurai dekstrin menjadi glukosa. Dinginkan larutan hasil likuifikasi hingga suhu 600C lalu tambahkan 0,8 ml enzim amiloglukosidase per kg pati. Proses itu selama 76 jam.
Selama proses itu atur pH pada angka 4—4,6 dengan menambahkan asam klorida (HCl) ke dalam larutan dekstrin. Agus menyederhanakan prosesnya bagi produsen rumahan. “Didihkan, tambahkan enzim, lalu diamkan. Setelah 24 jam didihkan lagi lalu biarkan dingin sebelum proses berikutnya,” katanya. Tambahkan 0,5—1% arang aktif per kilogram pati. Arang aktif menghentikan aktivitas enzim sekaligus mengikat, menggumpalkan, atau mengendapkan pengotor yang terbawa dari proses sebelumnya.
Proses itu menghasilkan larutan jernih sehingga tahapan itu disebut pemucatan. Pengotor yang telah diikat karbon aktif itu tinggal disaring untuk mendapatkan gula cair dengan tingkat kejernihan 93%. Kalau belum sampai 93%, ulangi tahap pemucatan dan penyaringan. Penyaringan berikutnya menggunakan proses ionik.
Gula cair dilewatkan ke dalam tabung berisi penukar ion. Tabung penukar ion terdiri atas tiga tabung. Tabung pertama berisi resin kation, tabung kedua anion, dan tabung ketiga berisi campuran anion serta kation. Fungsinya mengikat pengotor berupa logam yang tidak diikat oleh karbon aktif. Selanjutnya tahap evaporasi, yaitu menurunkan kadar air dan meningkatkan kemurnian gula. Larutan dipanaskan di suhu 50— 600C.
Evaporasi selesai ketika gula cair berhenti menetes dari pipa evaporator. Pemurnian itu meningkatkan kemanisan gula cair dari 30—360briks menjadi 60—800briks. Sekilogram pati atau tapioka menghasilkan 700—800 g gula cair. Menurut Agus Budiyanto teknik enzimasi itu bisa dilakukan dalam skala kecil di desa sentra singkong dengan meniadakan tahapan penyaringan ionik yang rumit.
Selain itu evaporasinya pun bisa dengan mendidihkan sampai kadar airnya minimal. Saat musim hujan, pengeringan pati tidak optimal. Itulah sebabnya menghasilkan tepung tapioka berkualitas rendah. Jika demikian produsen bisa langsung memroses pati basah secara enzimasi. (Argohartono Arie Raharjo)