“Seleraorang Indonesia itu kopi robusta,” kata Q grader kopi Daroe Handojo. Penilai mutu kopi di Kemang, Jakarta Selatan, itu pernah menyodorkan kopi arabika bermutu tinggi kepada pelanggannya dari kalangan atas. Namun, setelah mencicipi kopi, pelanggan itu justru tertarik pada kopi robusta. Penilai mutu kopi lain di Bandung, Jawa Barat, Adi Taroepratjeka berkomentar serupa, cita rasa robusta lebih cocok untuk lidah orang Indonesia.
Jika kita menengok ke belakang pada era penjajahan Belanda, masyarakat memang lebih mudah memperoleh kopi robusta dibandingkan dengan arabika. Robusta lebih banyak tumbuh di dataran rendah hingga menengah, sedangkan arabika di dataran tinggi. Belanda mendatangkan kopi arabika ke Indonesia kali pertama pada 1696. Kopi arabika berasal dari Malabar, India. Saat ini hampir 85% kopi di Indonesia merupakan jenis robusta (Coffea canephora).
Badan Pusat Statistik mencatat luas penanaman kopi—beragam jenis—di Indonesia pada 2021 mencapai 1,25 juta hektare. Dari luasan itu 85% di antaranya merupakan robusta. Indonesia eksportir kopi terbesar kedua setelah Brasil. Pangsa pasar kopi Indonesia baru 13%, sedangkan Brasil 25%. Pada 2021 Indonesia mengekspor 786.000 ton kopi (85% di antaranya robusta). Oleh karena itu, peningkatan kualitas kopi robusta secara umum membantu peningkatan pendapatan para petani di berbagai daerah. Topik Majalah Trubus edisi Februari 2023 yang tengah Anda baca fokus pada peningatan kualitas robusta di berbagai daerah. Banyak pihak melakukan aksi perbaikan mutu. Akibatnya kualitas kopi robusta pun meningkat. Petani menerima harga lebih tinggi dengan selisih Rp10.000— Rp20.000 per kg dibandingkan dengan harga sebelumnya ketika mutu biji amat rendah. Kopi-kopi robusta dari para petani itu mengisi kafe yang kian menjamur.
Sahabat Trubus, selamat menikmati sajian kami