Usai panen, M. Zazid Almufadlo langsung mengirimkan 6 truk ubi jalar varietas ase bandung ke perusahaan produsen olahan ubi di Kota Cirebon, Jawa Barat, PT Indowooyang, setiap bulan. Menurut petani di Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu satu truk memuat 8 ton umbi. Perusahaan itu membeli ubi jalar Zazid Rp4.900 per kilogram (kg). Pasokan rutin ke eksportir itu memberikan omzet Rp235 juta per bulan.
Selain itu Zazid juga memasok produsen saus di Kendal, Jawa Tengah, 4 truk ase bandung per bulan. Harga beli ubi jalar untuk saus lebih rendah Rp3.500 per kg. Harap mafhum, standar mutu yang diminta pun lebih rendah. Keruan saja omzet Zazid makin besar. Itulah sebabnua Zazid mantap beralih profesi menjadi petani ubi jalar sejak 2017. Semula ia bekerja di perusahaan swasta di Kabupaten Malang sejak 2010.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

Pasar ekspor
Dua tahun terakhir bisnis ubi jalar menggeliat. Padahal, di dalam negeri masyarakat kerap memberi stigma buruk pada ubi jalar Ipomoea batatas. Lihat saja PT Indowooyang yang mengekspor produk turunan ubi jalar sejak 2012. Pasar utama yakni Jepang dan Korea Selatan. Produk olahan ubi mereka berupa pasta, potongan beragam bentuk (stik dan kubus), dan produk campuran dengan mentega (butter) atau susu.
Aneka olahan itu diproduksi dari tiga varietas ubi jalar yakni ase putih, beniazuma, dan rancing atau cilembu. Menurut Manajer Budidaya PT Indowooyang, Putut Prastowo, kapasitas produksi 50 ton ubi jalar setiap hari. PT Indowooyang yang berkapasitas produksi 350—500 ton olahan per bulan. Jumlah itu meningkat signifikan dari tahun pertama pada 2012 yang hanya berkisar 75—100 ton per bulan.
Meski demikian, produksi itu baru memenuhi 30—50% permintaan pasar. Putut masih kekurangan ubi jalar karena saat ini suplai bahan baku masih 50—70% dari yang diperlukan. Saat ini harga bahan baku berkisar Rp2.500—Rp3.500 menyesuaikan varietas dan kualitas. Sementara petani mitra mencapai 900 orang yang tersebar di penjuru Pulau Jawa. Total penanaman mereka 30—50 ha per bulan. Itu belum termasuk petani bukan mitra yang kerap memasok untuk menambal kekurangan bahan baku dari mitra.

Mitra dari setiap daerah memiliki keunggulan pada varietas tertentu sehingga mempermudah Putut memetakan sumber pasokan. Varietas ase putih terbaik biasanya dihasilkan dari Jawa Tengah seperti Kabupaten Semarang, Magelang, dan Salatiga. Beniazuma tumbuh baik di Jawa Barat meliputi Kabupaten Sukabumi dan Cianjur serta Sumatera Utara, Jambi, dan Bengkulu.
Sentra ubi rancing atau cilembu ada di hampir seluruh Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatra. Untuk memenuhi permintaan yang cukup banyak, Putut masih mencari peuluang kemitraan baru. “Masih terbuka peluang kemitraan, pastinya setelah melalui penilaian (assessment) lengkap oleh tim kami,” katanya. Tak dipungkiri, Indowooyang hanya bisa menyerap ubi berkualitas tinggi meliputi ukuran, bentuk, tampilan, dan penanganan pascapanen.
Ase putih misalnya, harus memiliki kulit putih kecokelatan dengan bentuk bulat atau lonjong dengan sedikit lekukan. Selain itu, umbi mesti sehat sempurna tanpa bibit penyakit di bagian luar maupun dalam serta bebas lanas dan busuk. Bobot ubi minimal 200 g dengan diameter 5 cm. Penanganan pascapanen meliputi pengiriman ubi ke pabrik segera setelah panen maksimal melalui penyimpanan tiga hari setelah panen.
Kemitraan
Eksportir di Jakarta Selatan, Kiran Rahal, mengirim ubi jalar segar ke Singapura dan Malaysia. Pendiri PT KSIP Solusi Mandiri itu menuturkan ubi jalar asal Indonesia sohor di mancanegara terutama dua negara tersebut. Selan itu, “Mudah diolah karena awet, daya simpan lebih lama dibandingkan dengan sayuran lain,” kata Kiran yang juga mengekspor beragam produk sayuran seperti kentang, kubis, dan tomat. Setiap bulan ia mengekspor 30 ton ubi jalar.

Jenis ubi yang paling banyak diminta yakni ubi cilembu. Kiran bekerja sama dengan 10 petani yang mengelola lahan seluas 5 hektare. Lokasi petani ada di Jawa Barat meliputi Kabupaten Sumedang, Bandung, dan Subang. Selain itu ia mendatangkan ubi ungu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kiran menekankan petani yang ingin memasok mesti paham standar mutu.
“Yang paling penting kualitas, kuantitas, dan kontinuitas,” katanya. Menurut Kiran, pembeli mancanegara menghendaki ubi jalar yang sehat, mulus, dan berbentuk lonjong. Bobot ideal 100—400 gram per umbi. Ia menjual ubi segar dalam kemasan plastik. Harganya mencapai Rp15.000 per kg. Eksportir lain Ashat Arifin sejak 2021 dengan tujuan Guangzhou, Tiongkok. Pembeli menginginkan ubi jalar dengan bobot 250— 400 gram per umbi dengan diameter 5 cm.
“Tidak boleh terkelupas, tidak terkena cangkul, dan tidak boleng,” kata eksportir di Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu. Ia mengekspor varietas hasil pemuliaan Balitkabi yakni Beta 1, Beta 2 , dan Beta 3. Ia mengatakan, “Tujuan ekspor Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Thailand. Ada juga ke Kota Guangzhou, Tiongkok.” Kuota ekspor sekitar 25—30% dari pasokan yang ia kirim per bulan.

Tak hanya ekspor, pasar domestik juga butuh pasokan lebih banyak. Ashat Arifin mampu menyediakan 25—50 ton untuk beberapa pabrik pengolah ubi jalar di Pulau Jawa. Sebelum pandemi, permintaan lebih besar. “Itu baru bisa memenuhi 25% permintaan pasar sebelum pandemi,” kata Ashat yang menekuni ubi jalar sejak 2016 itu.
Pasokan itu berasal dari petani mitra yang menanam di lahan seluas 20—30 ha. Setelah pandemi,kemampuan pasok menurun menjadi 8—20 ton per bulan. Ashat juga memasok eksportir, pasar swalayan, pasar tradisional, dan pabrik pengolah. Menurut Ketua Umum Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia (Asapuji), Ahmad Joe Hara kini terdapat 3 perusahaan besar produsen ubi jalar penanaman modal asing (PMA) yang memproduksi ubi jalar olahan seperti pasta, stik, dan keripik dengan total penjualan ekspor mereka mencapai 30.000 ton per tahun.
Pasar ekspor memburu ubi jalar. Dosen Agribisnis Universitas Padjadjaran, Dr. Tomy Perdana, S.P., M.Si. mengatakan, ubi jalar memiliki profil nutrisi yang sangat baik dan berkhasiat untuk kesehatan seperti meningkatkan imunitas tubuh, fungsi otak, kesehatan usus dan mata, serta memiliki senyawa melawan kanker. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah yang diperoleh petani dan pelaku usaha ubi jalar di Indonesia, diharapkan pengembangannya mengarah ke agroindustri bekerjasama dengan industri makanan dan minuman di pasar domestik.
Begitulah ubi jalar-ubi jalar asal Indonesia banyak mengisi pasar ekspor. Keruan saja banyak kendala menerjuni bisnis itu. Sekadar contoh penyakit boleng menjadi ancaman utama (baca: Batatas Bebas Lanas halaman 22—23) Jika hambatan teratasi, petani ubi jalar menangguk laba besar. Petani berpeluang meraup omzet Rp62 juta dari penanaman ubi jalar dilahan 1 ha (baca: Untung Besar Ubi Jalar halaman 28—29).

perluasan tanam.
Penanaman meluas
Zazid melihat potensi ubi jalar cukup besar di daerahnya. Menurut petani kelahiran Malang, 29 Agustus 1984, itu perniagaan ubi jalar menggiurkan. “Dari sisi barang pasti ada. Saya tinggal cari pasar,” kata Zazid. Ia pun sejak awal menargetkan kerja sama dengan perusahaan pengolah ubi jalar, bukan pasar tradisional.
Sebetulnya bukan hanya dua perusahaan itu yang menerima hasil panen Zazid. Ada tiga perusahaan olahan ubi jalar lainnya yang meminta kiriman saat kekurangan pasokan. Namun, Zazid belum bisa memenuhi permintaan tidak rutin itu. Ia mengebunkan ase bandung di lahan 3 hektare (ha). Selain itu pasokan ubi juga berasal dari petani mitra di Kabupaten Malang, Jember, dan Kediri, semua di Provinsi Jawa Timur.
Tingginya permintaan ubi rancing juga dialami Agus Setiawan. Petani di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu melanjutkan usaha orang menekuni perniagaan ubi cilembu sejak 2015. Ia memasok 7 ton ke eksportir dan 15 ton ke sudah kios ubi bakar rutin setiap pekan. Harga ubi untuk ekspor Rp11.000—Rp12.000 per kg sedangkan untuk kios Rp6.500—Rp8.500. Dari perniagaan ubi rancing itu, omzet Agus Rp698 juta sebulan. Selain ekspor dan kios, ia juga menjual ubi afkir untuk pasar tradisional. Jadi, praktis tidak ada yang terbuang.
Menurut Agus standar mutu dari yang tertinggi yakni untuk ekspor, kios ubi bakar, pedagang eceran, dan terakhir untuk pakan kambing. Standar mutu ekspor mengutamakan bentuk lonjong dan kulit mulus. Agus memperoleh pasokan dari petani mitra yang menanam di lahan 15 ha. Setiap hektare menghasilkan rata-rata 10 ton ubi rancing. “Ada yang bisa sampai 12—15 ton. Kalau rata-rata sekitar 10 ton per ha,”
kata Agus.
Petani memilih ubi rancing lantaran masa panen relatif cepat yakni empat bulan. Selain itu, kulit ubi juga mulus tanpa cela sehingga menarik konsumen. Sebelum ubi rancing, petani di daerahnya mengenal ubi madu jenis nirkum dan arnet. Namun, keduanya memiliki kulit berurat sehingga tampilannya kurang menarik. Itulah alasan kini banyak petani menanam rancing daripada arnet dan nirkum untuk emmasok pasar. Ubi jalar terbukti menjadi buruan pasar ekspor.