Usnul Adhib dan Ali Akbar rutin menjual sekitar 1.000 aglaonema beragam jenis setiap bulan sejak September 2020. Harga aglaonema mulai dari ratusan ribu hingga belasan juta rupiah per tanaman tergantung dari jenis dan ukuran. Jika harga sri rejeki—sebutan lain aglaonema—minimal Rp100.000, omzet pebisnis tanaman hias itu Rp100 juta saban bulan. Setelah dikurangi ongkos produksi, laba mereka minimal Rp30 juta per bulan.
Pemilik Taman Asri Aglaonema di Desa Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta (DIY), itu menjual aglaonema lokal silangan Gregori Garnadi Hambali dan impor. Adhib dan Ali mendapatkan pasokan aglaonema lokal dari pekebun lain setiap 1,5 bulan. Mereka membesarkan tanaman anggota famili Araceae itu hingga minimal berdaun lima helai.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

Permintaan tinggi Kadang Adhib dan Ali mendapatkan tanaman ukuran remaja dan induk sehingga bisa segera dijual atau disimpan untuk perbanyakan. “Kami juga ingin menjual aglaonema impor yang berkualitas dan stabil. Jadi, baru dijual setelah dipelihara tiga bulan,” kata Adhib. Sekitar 50% dari volume penjualan merupakan aglaonema lokal, sisanya impor. Konsumen Adhib dan Ali meliputi pedagang dan pehobi yang berasal dari berbagai daerah.
Mereka mengandalkan pemasaran daring agar lebih banyak orang mengenal kebun Taman Asri Aglaonema. Harap mafhum, Adhib dan Ali tergolong pekebun baru aglaonema. Adhib mengoleksi aglaonema sejak 2019 karena hobi memelihara tanaman hias sejak kecil. Sebelum merawat aglaonema, ia berpengalaman memelihara aneka tanaman hias lain seperti adenium, kalatea, anggrek, dan mawar.
“Saya tertarik memiliki aglaonema karena warna dan bentuk bagus serta banyak variasinya,” kata pria berumur 42 tahun itu. Tidak terasa koleksi aglaonema mencapai ratusan pot sehingga berdesakan di pekarangan. Oleh karena itulah, Adhib membangun rumah tanam (greenhouse) 150 m2 di lahan terbengkalai depan rumah. Saat itu tidak ada niat menjual aglaonema karena memang hobi murni. Kondisi berubah ketika seorang kawan menggunggah video kunjungannya ke kebun Adhib dan Ali. Sejak saat itu banyak orang datang membeli aglaonema. Dengan berat hati ia menjual sri rejeki yang populasinya lebih banyak sejak September 2020. Kini hobi aglaonema Adhib menjadi salah satu usaha sampingan yang menghasilkan. Meski pehobi baru, Adhib dan Ali serius menekuni bisnis tanaman kerabat keladi itu.
Buktinya rumah tanam yang semula 150 m2 kini menjadi 1.500 m2 dalam waktu tujuh bulan. Ketika Trubus berkunjung pada Maret 2021, terdapat ribuan tanaman hasil perbanyakan. “Permintaan banyak tapi kami tidak penuhi semua, hanya 30%. Kami ingin melengkapi koleksi dan fokus perbanyakan,” kata Adhib. Kemungkinan pada Agustus 2021 aglaonema hasil perbanyakan sendiri bisa dijual. Mereka mengembangkan jenis lokal seperti moonlight dan adelia. Adhib dan Ali memposisikan diri sebagai petani aglaonema.Bahkan mereka berencana memiliki kebun baru seluas 1 hektare pada 2021 agar lebih banyak aglaonema yang diproduksi. Harap mafhum, volume penjualan 1.000 aglaonema per bulan belum memenuhi permintaanpasar. Jika Adhib dan Ali memproduksi 2.000 aglaonema pun pasti laku.

Tren pasar
Tidak hanya Adhib dan Ali yang kewalahan melayani permintaan aglaonema lokal. Tren meningkatnya aglaonema juga dirasakan pekebun di Desa Karangcengis, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, Usro. Pekebun aglaonema sejak 2006 itu rutin menjual lebih dari 3.000 aglaonema setiap bulan. Sekitar 1.000 aglaonema merupakan jenis lokal yang berasal dari kebun sendiri dan pekebun lain. Jika kapasitas produksi 2.000 aglaonema lokal pun terserap pasar. Usro mengembangkan beberapa aglaonema lokal antara lain goliath, angela, dan hughes. Di Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Riza Adhika Warman, S.E., pun baru mampu memasok 50 aglaonema per bulan. Permintaan yang datang mencapai 100 pot per bulan. Hampir semua aglaonama terjual berasal dari perbanyakan sendiri. Ia terkendala lahan untuk meningkatkan produksi sri rejeki. Namun, ia tidak kehabisan akal. Pemilik Rumah Aglaonema Semarang itu berencana menjual rumahnya dan pindah ke pinggir kota untuk membangun kebun dan rumah baru. Semula Adhika merupakan pencinta aglaonema tulen sejak 2016. Ia baru menjual koleksinya sejak 2019. Seorang pehobi aglaonema di Semarang yang meminta Adhika berjualan.
“Saya pikir-pikir dahulu hingga setahun kemudian baru berjualan. Pertimbangannya karena tren ramai dan mulai banyak yang mengenal aglaonema,” kata Andhika. Pria kelahiran Kota Palu, Sulawesi Tengah, itu memperoleh profit Rp10—Rp15 juta per bulan dari perniagaan tanaman berdaun indah itu. Tiara, widuri, dan hot lady beberapa aglaonema yang dikembangkan Adhika.
Penangkar senior aglaonema di Kelurahan Jatiranggon, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat, Harry Setiawan, mengatakan tren aglaonema meningkat saat pandemi korona. Terutama pada semester kedua 2020. “Permintaan dan harga aglaonema meningkat ketika pandemi. Saya tidak pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya,” kata penangkar aglaonema sejak 2003 itu.
Aktivitas masyarakat lebih banyak di rumah saat pandemi sehingga mereka menekuni hobi seperti membeli sri rejeki. Banyak permintaan konsumen yang tidak terlayani meski Harry rutin memproduksi sekitar 1.000 pot aglaonema setiap bulan. Bila Harry mempunyai 2.000 pot pun pasti ludes terjual. Aglaonema lokal silangan Greg antara lain romantic love dan goliath mendominasi kebun pemilik Irene Flora itu.

Layak dikembangkan
Menurut pehobi aglaonema di Kelurahan Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Agung Tri Wibowo, S.Pt., memiliki beragam warna dan corak merupakan keunggulan aglaonema ketimbang tanama hias lain. Selain itu, keindahan aglaonema dapat dinikmati tanpa harus menunggu berbunga. Wajar banyak orang kepincut tanaman yang berhabitat asli di hutan hujan tropis itu. Munculnya pehobi baru menaikkan tren aglaonema. Agung mengatakan, pasar tanaman kerabat anthurium itu kini meluas dibandingkan dengan tren 2006—2008. Saat itu tren aglaonema hanya ramai di Pulau Jawa dan Sumatera. Kini tren tanaman kerabat kuping gajah itu menyebar hingga Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. “Penggemar aglaonema meningkat di kota kotakota kecil di luar Pulau Jawa,” kata pemilik Pondok Bunga Ayu, itu.
Pemulia aglaonema, Gregori Garnadi Hambali, mengatakan, jenis baru juga membuat pasar aglaonema tetap berjalan. Greg—sapaan akrab Gregori Garnadi Hambali—konsisten menyilangkan aglaonema untuk menghasilkan hibrida terbaru yang disukai pasar. Kriterianya harus bagus serta warna dan corak berbeda dengan jenis sebelumnya.
Tidak melulu yang berwarna cerah. Aglaonema berwarna lembut seperti golden hope pun banyak yang suka. Pendek kata aglaonema baru mesti enak dipandang. Yang paling anyar ia merilis aglaonea minion pada Juni 2021 (baca Ratu Daun Paling Gres halaman 26—27). “Varian baru melanggengkan tren aglaonema di Indonesia,” kata alumnus Biologi Konservasi Birmingham University, Inggris, itu.
Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tridadi Makmur, Kapanewon Tridadi, Kabupaten Sleman, Raden Agus Choliq, S.E., M.M., mengatakan, “Aglaonema komoditas menarik untuk diperbanyak.” Alasannya tidak memerlukan lahan luas untuk budidaya. Selain itu, permintaan aglaonema selalu ada meski harga turun. Buktinya Harry menjual ribuan pot per bulan dalam kondisi apa pun hingga kini.
Jenis lawas
Faktor lain aglaonema layak dikebunkan menurut Choliq yakni harga produksi yang relatif murah. Ia menghitung biaya produksi aglaonema hingga siap jual selama tujuh bulan relatif murah. Ongkos produksi bisa berbeda di setiap daerah tergantung dari teknik perbanyakan serta kualitas media tanam dan pupuk. Menurut Choliq petani masih mendapatkan laba meski harga terendah aglaonema Rp25.000 per pot.
Intinya budidaya tanaman kerabat bunga bangkai raksasa itu menguntungkan sebagai petani (baca Rezeki dari Sri Rejeki halaman 14—15). Beberapa alasan itulah yang meneguhkan tekad Choliq untuk bertani aglaonema pada 2016. Selain permintaan yang meningkat, harga jual aglaonema terutama varian lokal silangan Greg pun melejit. Contohnya adelia yang sebelumnya berharga kurang dari Rp100.000 menjadi Rp1,5 juta—Rp2 juta. Tidak heran jika omzet Choliq sebelumnya yang mencapai ratusan juta melonjak minimal dua kali lipat saat pandemi. Hampir semua aglaonema lokal mengalami peningkatan harga. “Musababnya beberapa jenis aglaonema lama ‘terlupakan’ sehingga untuk diperbanyak terbatas. Selain itu, petani yang memperbanyak aglaonema lokal juga sedikit,” kata pemilik Krokot Nursery itu. Yang memperbanyak aglaonema lokal menggunakan teknik kultur jaringan pun belum ada. Agung mengatakan beredarnya buku katalog aglaonema terbitan 2008 turut mendongkrak pamor aglaonema lokal. Buku memuat aglaonema jadul yang tren saat itu. Pehobi terutama yang baru kesengsem aglaonema dalam buku setelah melihatnya. Agung menjual buku itu sejak semester kedua 2020. Tujuan awalnya agar para pehobi baru tidak salah mengidentifikasi jenis aglaonema. “Katalog yang beredar itu seperti corong marketing yang memperkenalkan pembaca ada banyak jenis aglaonema seperti ini,” kata pencinta aglaonema sejak 2000 itu.

Menurut Choliq sebetulnya banyak konsumen yang mencari aglaonema jadul sejak 2019. Derasnya aglaonema impor membuat pasokan relatif banyak di pasaran. Saking banyaknya produk impor, beberapa konsumen ingin memiliki aglaonema yang tidak umum atau terbatas jumlahnya di pasaran. Pilihannya tentu saja aglaonema lokal lawas. Jadi ada faktor gengsi yang berperan pada pemilihan aglaonema lokal sebagai tanaman hias di rumah.
Beberapa aglaonema incaran pehobi antara lain goliath, moonlight, romantic love, dan hughes (baca Sepuluh Besar yang Diincar halaman 16—17). Setiap pekebun memiliki beberapa unggulan berbeda berdasarkan jumlah indukan yang dimiliki. Menurut Greg adanya jenis baru membuat aglaonema sebelumnya “terabaikan”. Ketika banyak orang yang mencari jenis lama, harganya bisa naik lagi seperti saat ini. “Yang mempunyai aglaonema seri lawas mesti bisa memanfaatkan peluang itu,” kata pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, itu.
Tingginya permintaan aglaonema lokal dan pasokan tidak sebanding. Boleh dibilang ceruk pasar tanaman dengan batang tidak berkambium itu relatif besar. Masuknya ratusan ribu aglaonema impor menunjukkan besarnya pasar dalam negeri. Suplai aglaonema terbesar hanya Harry. Yang lain hanya hobi, tapi tidak fokus produksi. Sedikitnya petani menjadikan Indonesia pasar “basah” aglaonema negara lain seperti Thailand dan Tiongkok. Seorang importir kawan Choliq kerap mengimpor sekitar 100.000 aglaonema per bulan.

Prospek baik
Saat ini ada beberapa importir aktif di Indonesia. Dari situ bisa dihitung berapa banyak aglaonema impor yang masuk ke tanah air. Kondisi itu yang memotivasi Adhib dan Ali fokus perbanyakan aglaonema. Menurut ahli agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Dr. Tomy Perdana, S.P., M.M., bisnis aglaonema secara ekonomi layak. Fluktuasi harga yang terjadi sebetulnya tidak ada di petani. Deviasi harga lebih banyak terjadi di sisi hilir. Choliq sependapat dengan Tomy. Pasokan terbatas mendongkrak harga aglaonema lawas yang permintaannya melonjak. Pedagang yang menjual aglaonema ke pedagang lain yang turut menaikkan harga aglaonema. Lalu bagaimana nasib aglaonema pascapandemi? Greg memprediksi lima tahun mendatang tren aglaonema relatif stabil. Choliq optimis selesainya pandemi tidak memengaruhi permintaan aglaonema. Alasannya selama pandemi sosialisasi aglaonema masif sehingga lebih banyak orang yang mengenal aglaonema.
Pemilik B’ayu Nursery di Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Benny Zulkifli, mengatakan, “Tren aglaonema tetap bagus di masa mendatang karena memiliki penggemar sendiri seperti anggrek.” Menurut Agung animo orang memiliki aglaonema jadul bakal bertahan lama. Apalagi tanaman tergolong koleksi yang jarang dimiliki. Segmen pasar aglaonema juga luas dari pemula hingga kolektor. Masingmasing segmen memiliki selera tersendiri. Usro menyarankan berbisnis aglaonema mesti didasari hobi. Bukan semata mengejar profit. Dengan begitu kondisi pasar seperti apapun tetap menyenangkan.