Tanaman saca pendatang baru dari Amazon tengah tren dan menjadi primadona. Di berbagai daerah muncul petani yang membudidayakannya. Bahan pangan sehat karena kaya omega 3 dan omega 9, cita rasa lezat, dan mahalnya harga minyak olahannya menjadi sebagian daya tarik.
Di luar jam kantor dan akhir pekan, Mas Arif Biantoro melepas semua atribut kepolisiannya untuk mengebunkan 550 saca Plukenetia volubilis di lahan 5.000 m2. Anggota staf bidang Sistem Pengawasan (Siwas) Kepolisian Resor Tanahlaut, Kalimantan Selatan, itu menanam saca sejak awal 2020. Ketika tanaman berbuah 7—8 bulan kemudian, ia menjual ke pengolah di kota sebelah, Kabupaten Kotabaru seharga Rp7.000 per kg.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten
Brigadir polisi Oyo—panggilan Arif—memanen rata-rata 0,5 kg buah saca per tanaman setiap bulan. Penjualan 275 kg saca memberikan omzet Rp1,9 juta. Ia memanen sebulan sekali sehingga dalam lima bulan mendapat tambahan penghasilan kotor Rp9,6 juta. Seiring dengan penambahan umur, produktivitas pun melonjak. Pada umur 4 tahun tanaman menghasilkan 3—4 kg per bulan sehingga potensi pendapatan pun melonjak.

Menjadi minyak
Mas Arif Biantoro tertarik mengebunkan saca karena perawatan mudah dan bisa menikmati olahannya. “Kalau tidak dijual pun bisa kita makan sendiri,” kata pria 35 tahun itu. Tanaman asli hutan Amazon— Bolivia, Brasil, Ekuador, Kolombia, Peru, dan Venezuela—itu adaptif di iklim tropis Indonesia. Umur tanaman yang bisa lebih dari 10—20 tahun menjadi daya tarik lain. “Yang saya tanam sekarang produktif sampai nanti saya pensiun,” kata Biantoro, lulusan Sekolah Polisi Nasional Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Gayung bersambut, ia menemukan satu perusahaan pengolah di Kotabaru yang kini menjadi mitranya. Perusahaan itu menyediakan bibit dan membeli hasil panen. Oleh karena itu, Oyo mengajak petani di sekitarnya ikut menanam tanaman saca karena yakin berprospek bagus. Menurut ayah tiga anak itu hingga sekarang ada 52 orang yang mengebunkan saca di daerahnya. Di Tanah Laut 30 orang, Banjarmasin (7), Banjarbaru (11), dan Kotabaru empat orang.
Selain mengolah langsung biji saca dengan sangrai, ada juga yang memrosesnya menjadi minyak. Setahun terakhir, Muhammad Abdurrahman mengolah biji saca menjadi minyak. Petani di di Desa Parakanlima, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu membudidayakan saca beragam umur. Produktivitas masih terbatas sehinga Abdurrahman memperoleh bahan baku dari 20 petani mitra. Ia mengatakan, satu liter minyak berasal dari 5—7 kg biji kupas atau rendemen maksimal 20%.
Lima—tujuh kg biji kupas setara paling banyak 47 kg buah saca berkulit. Saat ini harga per kg buah di tingkat petani Rp7.000 atau Rp329.000 per 47 kg. Margin pengolahan buah menjadi minyak masih tinggi karena harga jual Rp1 juta per liter. Semua produksi minyak terserap pasar. Menurut Abdurrahman harga jual relatif mahal karena minyak saca amat sehat akibat kandungan omega 3, omega 6, dan omega 9. Lazimnya ketiga asam lemak itu ada pada produk hewani.
Kandungan gizi saca juga lengkap seperti asam linolenat dan betakaroten (lihat: Selamat Datang Buah Bintang halaman…). Itulah sebabnya banyak konsumen memburu saca. Selain memasok pasar lokal, Abdurrahman juga pernah melayani permintaan minyak ke Singapura, Malaysia, dan Filipina. Volumenya hanya 1—3 liter. Pembeli dari Taiwan meminta kiriman setelah melihat unggahan di laman media sosial miliknya.
Menurut Abdurrahman saat ini permintaan biji baik untuk bibit maupun olahan sangat tinggi. Ia menyatakan, “Sebulan satu ton biji pun pasar masih mampu menyerap.” Pasar menghendaki biji saca hasil panen tua ditandai kulit cokelat dan bernas, bebas bekas gerekan atau tusukan serangga, dan tua karena masak bukan layu. Adapun jumlah segi pada buah saca tidak menjadi syarat khusus. Jumlah segi pada biji saca bervariasi 4—7.
Seretnya pasokan menjadi kendala utama produksi minyak. Abdurrahman melayani permintaan minyak juga biji untuk konsumsi maupun benih. Mencari di tempat lain juga sulit karena saca komoditas baru di Indonesia. Petani yang intensif mengebunkan terbatas dan kebanyakan belum berproduksi. Akibat tingginya permintaan biji saca, wajar kalau satu per satu mitranya enggan memasok dan memilih menjual sendiri.
Memperluas penanaman
Para pekebun di berbagai daerah berecana memperluas penanaman saca. Abdurrahman menambah mitra untuk memperluas penanaman serta menanam sendiri. Sayangnya, upaya itu belum mampu menutup masalah kekurangan pasokan. Pria 43 tahu itu kini hanya memperoleh pasokan rata-rata 50 kg per bulan untuk olahan. Ia menyangrai saca kupas. Konsumen membeli saca untuk konsumsi dengan cara sangrai. Cita rasa saca mirip kacang mete tapi lebih gurih. Ada juga yang membeli saca untuk perbanyakan bibit.

Menurut Abdurrahman penanaman saca idealnya berjarak 3 m x 2 m sehingga total populasi 1.667 tanaman per hektare. Sekali menanam petani memanen berulang-ulang karena saca mampu bertahan minimal 10 tahun. Tanaman anggota famili Euphorbiaceae itu berproduksi konstan setelah berumur lima tahun, yakni 5,55 ton per hektare per bulan. Interval panen saca per bulan. Satu tanaman menghasilkan rata-rata 3,3—4 kg per tanaman per bulan. Dengan harga biji di tingkat kebun Rp7.000 per kg, petani berpotensi meraup omzet Rp38,5 juta per bulan.
Tiga tahun terakhir saca menjadi primadona baru. Banyak orang yang berhasrat mengebunkan tamaman anggota famili kastuba-kastubaan itu makin banyak. Mereka tersebar di berbagai wilayah. Di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ada PT Aneka Dasuib Jaya yang bermitra dengan kelompok tani dengan luas lahan total 17 ha untuk budidaya saca. Sayang sejak Maret 2021 perusahaan yang berdiri pada 2017 itu tengah melakukan pembenahan internal. Permohonan wawancara reporter Trubus pun tertunda.
Di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan, terdapat PT Setia Alam Raya (SAR). Perusahaan itu menyerap saca produksi petani dengan harga Rp7.000 per kg. Salah satu petani yang rutin memasok saca ke PT SAR adalah Brigadir Polisi Kepala Mas Arif Biantoro. Di sela-sela waktunya sebagai anggota kepolisian, Arif menawarkan paket penanaman saca. Ia menyediakan bibit, tiang panjat, kawat rambatan, jasa penanaman, dan jaminan pembelian buah dengan sepaket biaya. “Masyarakat antusias karena kebanyakan menanam sawit atau karet yang harganya rendah beberapa tahun terakhir,” kata bintara berusia 35 tahun itu.
Sementara itu di Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ada Jaja Jamaludin yang mengibarkan bendera Rumah Sacha Inchi Parung Bogor. Pada Maret 2021, Jaja baru menanam sedikit tanaman saca berumur sebulan. Pelaku budidaya lain ada di Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Warsino. Saat ini ia bersiap menanam 5.000 tanaman saca di lahan setara 4 ha. Ia menargetkan budidaya 240.000 tanaman saca pada 2023.
Peluang bisnis
Warsino bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di beberapa desa. Ke mana ia memasarkan saca? Hasil panen ia kirim ke pengolah di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. “Skemanya kemitraan dengan sistem koperasi. Petani mendapat pemasukan dari hasil pembelian plus pembagian sisa hasil usaha tiap tahun,” katanya. Penanaman terpisah-pisah menyesuaikan ketersediaan lahan milik petani. Menurut Warsino setiap 1.200 tanaman setara sehektare lahan.
Saat Trubus mengunjungi lahan Warsino di Wonogiri pada akhir Januari 2021, Warsino yang juga pegiat pertanian organik itu menyimpan 5.000 bibit setinggi 20—25 cm siap tanam di belakang rumah. Saat itu Seno—panggilan Warsino—tengah menyiapkan 24.000 biji di persemaian. Saca pun komoditas baru baginya dan rekan-rekan. Ia menggadang-gadang saca yang berbunga sepanjang tahun sebagai salah satu tanaman sumber nektar. Harap mafhum, ia juga beternak lebah trigona.
Seno membeli biji dari Peru pada awal 2020 melalui salah satu laman jual beli daring (online). Harganya tidak berbeda dengan penjual dari negara lain—setara Rp500.000 per kg. Hingga kini ia tetap membeli benih dari Peru untuk memproduksi bibit. “Biji untuk bibit harus berasal dari tanaman berumur minimal 3 tahun. Di Indonesia belum ada tanaman berumur itu,” katanya. Tanaman dari biji dari buah magori—buah pertama—kurang bagus (baca Jalur Cepat Bibitkan Saca halaman 14—15).
Petani saca di Ketapang, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Ari Sutikno, lebih optimis. Ari menginginkan luasan penanaman saca di Indonesia sedikitnya 2.000 ha. “Supaya kita tidak menjadi pasar bagi produk saca dari negara lain,” katanya. Ayah lima anak itu tidak asal bicara. Di Malaysia saca menjadi bahasan di penyuluhan dan seminar sejak 2015. Thailand dan Vietnam pun hampir bersamaan dengan Malaysia dalam memulai “persacaan”.
Ahli agribisnis dari Institut Pertaian Bogor, Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. mengatakan, sebagai komoditas baru saca menarik perhatian publik. Sosok buah atraktif seperti bintang, kandungan senyawa aktif bagus bagi kesehatan. Namun, agribisnis harus berorientasi pasar. Apalagi saca meski merambat mampu bertahan puluhan tahun. Oleh karena itu, masyarakat yang tertarik mengebunkan saca harus mewaspadai pergerakan harga. “Perniagaan komoditas apa pun terpengaruh hukum pasar. Pasokan dan permintaan senantiasa saling memengaruhi,” katanya.
Saat Trubus menghubungi Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi-umbian (Balitkabi), Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum ada yang bisa memberikan informasi. Anggota staf Pelayanan Publik Balitkabi, Irin Yurisul Chivdha mengatakan, saca komoditas baru sehingga pihaknya belum menyimpan data apa pun.
Sebagai tanaman pendatang baru, saca fenomenal karena menarik perhatian masyarakat. Para pekebun yang memanen buah sudah menikmati laba. Petani di Bandung Barat, Jawa Barat, Ir. Setra Yuhana, M.M. berniat serius mengebunkan saca. Di lahannya tumbuh 50 saca yang sudah produktif sebagai modal perbanyakan tanaman. Meski pendatang baru dari Amazon, masyarakat cepat mengenalinya karena unggahan di media sosial. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Hanna Tri Puspa Borneo Hutagaol, Riefza Vebriansyah, & Tamara Yunike)