Permintaan sayuran organik meningkat dua kali lipat pada awal pandemi Maret—April 2020. PT Kapol Antar Nusa mengirim 4 ton sayuran per bulan. Padahal, lazimnya Kapol rutin memasok 2 ton per bulan. Menurut staf perencanaan dan pengawasan produksi PT Kapol Antar Nusa, Yohanes Pembabtis Sudaryanto, “Dari grafik penjualan Maret—April tertinggi, Mei turun dan menjadi datar pada Juni hingga akhir tahun.”
Pembatasan sosial membuat masyarakat beraktivitas dari rumah termasuk berbelanja sayuran. Namun setelah 2—3 bulan pandemi berlangsung, masyarakat mulai mengembangkan urban farming. Sudaryanto mafhum bila penjualan sedikit menurun pada medio 2020. Meski grafik mendatar pada pertengahan hingga akhir 2020, Kapol yang memiliki kebun produksi BSP Farm itu optimis peluang sayuran organik 2021 cerah.
Berlangganan Trubus Member untuk Baca Lengkap Seluruh Konten

untuk mencegah serangan hama atau penyakit.
Tambah produksi 50% Manajer Program Aliansi Organis Indonesia (AOI), Sukmi Alkautsar, mengatakan, tren pasar sayuran organik cenderung stabil setiap tahun. Terlebih dengan adanya pandemi pada 2020 permintaan sempat meningkat. Menurut Statistik Pertanian Organik Indonesia saatpandemi komoditas sayuran organik yang paling banyak dikonsumsi adalah bayam, kangkung, selada, dan kale. Kebanyakan konsumen memperoleh sayuran organik dari pasar swalayan dan memesan langsung ke petani/produsen. Ada pula konsumen yang menanam sendiri di rumah. Tak tanggung, BSP Farm berencana menambah kapasitas produksi 50% pada 2021. Itu lantaran ada beberapa permintaan yang belum terpenuhi pada 2020. Ketersediaan benih dan pupuk serta musim hujan masih menjadi kendala untuk menjaga produksi yang berkesinambungan.
Menurut Sudaryanto, ada Beberapa pertimbangan BSP berani ambil risiko untuk menambah kapasitas. Kesadaran konsumen terhadap kesehatan dan lingkungan makin tinggi. Sejalan dengan itu, mereka mulai kritis terhadap makanan sehat yang dikonsumsi. Konsumen tak segan membeli sayuran sehat meski harganya di atas produk konvensional.
Selain itu, Sudaryanto mengamati kelompok masyarakat menengah atas jumlahnya makin besar dan didominasi oleh milenial. Gaya hidup milenial cukup terpengaruh prestise termasuk makanan. Bagi mereka, produk organik tentu memiliki prestise lebih tinggi daripada konvensional. Hal lain, masyarakat terutama kaum ibu mulai memperhatikan asupan pada bayi dan anak-anak. Tentu sayuran organik lebih aman dan menyehatkan terutama di masa pertumbuhan.

Mitra Organik, kapasitas produksi kebun yang berlokasi di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu sebetulnya sudah maksimal. Oleh sebab itu Sudaryanto mengatakan optimalisasi kemitraan untuk menambah pasokan mutlak diperlukan pada 2021. Sebelumnya Kapol memiliki tiga petani mitra di sekitar kebun. Namun, total lahannya hanya 1,1 hektare. Padahal untuk sertifikasi setidaknya ada 1,5 lahan di satu lokasi.Itu masih menjadi kendala BSP untuk memperoleh mitra yang dapat disertifikasi. Alumnus jurusan Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada itu menghitung sehektare lahan bisa menghasilkan 3 ton sayuran per bulan dengan komposisi sayuran umbi 50%. Jika komposisinya sayuran daun saja, sehektare kebun dapat memproduksi 2—2,5 ton per bulan.
Selain luas lahan, petanimitra juga harus memiliki sumber air yang jelas sehingga risiko pencemaran juga tergambar dengan baik. Konversi dari budidaya konvensional ke organik juga perlu waktu.Sudaryanto menuturkan perlu merunut riwayat penggunaan lahan untuk menentukan berapa lama residu pupuk sintetis hilang.
Bila sebelumnya tanam sayuran konvensional secara intensif, petani perluwaktu dua tahun agar lahan benar-benar bebas residu. Namun jika tidak ada aktivitas budidaya intensif seperti lahan tidur atau pekarangan, dua musim tanam (6 bulan) cukup untuk membuat lahan kembali netral.
Modal Percaya, Nun di Kabupaten Siantar, Sumatera Utara, Apni Olivia Naibaho mampu menyerap sayuran organik dari petani mitra 50—70 kg per panen. Panen dua kali sepekan sehingga total serapan setidaknya 400 kg per bulan. Distributor pangan organik berlabel Siantar Sehat itu bermitra dengan lima petani di Bloksongo, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Luas lahan keseluruhan 2.000 m2.
Siantar Sehat membeli panen petani dengan harga cukup tinggi seperti sawi Rp8.000 per kg. Padahal, harga sawi konvensional hanya Rp1.000—Rp2.000 per kg. Apni kemudian menjualnya kembali seharga Rp14.000 per kg melalui pemesanan daring. Konsumennya dominan rumah tangga.

Meski produksi sudah ajek, Siantar sehat ternyata belum mengantongi sertifikat organik. Apni masih mengupayakan untuk mengajak lebih banyak petani agar konsisten berbudidaya organik. Praktis, ia hanya mengandalkan kepercayaan konsumen. Beberapa kriteria mutu tetap berlaku. Apni akan menyortir daun berwarna kuning dan terlihat jelek serta terlalu banyak lubang.
Konsumen Siantar Sehat tergolong loyal. Menurut Sukmi, produk untuk segmen komunitas dan rumah tangga tak terlalu mempermasalahkan standar mutu seperti adanya sertifikasi dan keseragaman kualitas. Kuncinya membangun kepercayaan pada konsumen. Sementara itu, produk pasar swalayan umumnya harus memenuhi
standar mutu yang lebih ketat selain telah bersertifikat organik.
Tampilan sayuran organik dan konvensional memang masih sulit dibedakan.Itulah mengapa sebetulnya sertifikasi penting untuk menjamin kualitas produk organik. Menurut Sukmi anggapan sayuran organik cenderung berlubang dan tidak mulus itu
agaknya sudah usang. Musababnya sayuran organik juga bisa mulus tanpa lubang
bergantung pemeliharaan dan penanganan pascapanen.
Sudaryanto menuturkan, beberapa komplain yang diterima BSP Farm masih seputar kualitas seperti ada titik busuk dan umur panen panen terlalu tua. “Itu mungkin 15 tahun yang lalu orang mengatakan sayuran organik wajar berlubang. Namun, sepertinya anggapan itu kurang relevan saat ini” kata laki-laki kelahiran Bantul 61 tahun lalul itu.
Berbeda dengan Siantar Sehat, BSP Farm melayani konsumen menengah atas yang menuntut kualitas benar-benar bagus. Syarat mutu asal utuh dan umur panen tepat. Panen wortel tidak terlalu tua dengan panjang 15—20 cm dan tidak boleh ada cacat. Tak hanya kriteria panen, penanganan saat pengiriman pun mempengaruhi kualitas. Sudaryanto mengatakan produsen sayuran organik makin banyak sehingga persaingan ketat. Harap mafhum bila produsen berlombalomba meningkatkan kualitas.

Harga tinggi Baik, Sudaryanto maupun Apni sepakat, peningkatan pendapatan menjadi poin utama petani mau beralih organik. “Mereka harus yakin harga yang kami berikan lebih tinggi daripada produk konvensional,” kata Sudaryanto. BSP Farm membeli produk mitra dua kali lipat daripada konvensional. Misalnya bayam hijau Rp12.000 per kg dan wortel Rp14.000 per kg.
Itulah sebabnya dengan harga itu, petani bisa memperoleh keuntungan 30—50%. BSP Farm memperoleh margin 50—70% dengan menjual ke toko retail. Saluran penjualan BSP Farm meliputi toko retail khusus produk organik, reseller, dan toko daring. Kontribusi terbesar oleh toko organik sekitar 70%. Penjualan melalui reseller sebesar 20%. Reseller itu memiliki pelanggan yang memiliki alergi tertentu seperti penderita autisme dan autoimun. Sementara itu, penjualan toko daring tak terlalu besar dan cenderung menurun sejak pertengahan hingga akhir 2020
Vice President The International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) Asia, Justinus Indro Surono, mengatakan, harga produk organik yang lebih mahal itu sejatinya untuk melindungi petani. Produktivitas lahan jelas menurun setelah konversi. Menurut Sukmi harga lebih mahal untuk menghargai upaya petani merawat tanaman hingga panen. Bertani organik tergolong berisiko tinggi. Tak heran konsumen patut membayar lebih.
Menurut pengamatan Indro permintaan produk organik khususnya sayuran masih tinggi. Saat ini permasalahan bukan lagi mencari pasar melainkan mengajak petani yang mau beralih organik. (Sinta Herian Pawestri)
