Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, petani Indonesia rata-rata berusia tua. Sebanyak 62% petani Indonesia berumur di atas 45 tahun. Selain itu kepemilikan lahan mereka juga sempit, dan tidak sejahtera. Gambaran buram itu membuat generasi muda enggan terjun ke dunia pertanian. Padahal pertanian memiliki peran strategis dalam ketahanan pangan.
Namun nyatanya, Indonesia tidak sendiri. Kondisi serupa terjadi di hampir semua negara berbasis pertanian. Saat Trubus mengikuti acara Asian Productivity Organization (APO) di Jepang pada 2014, pemerintah Jepang mengungkap, dari 1,6 juta petani Jepang sebanyak 60% berusia di atas 65 tahun. Pemerintah Jepang menolak menyerah pada kondisi itu. Mereka lalu melahirkan kebijakan pemberian insentif kepada generasi muda yang bertani. Di tanah air kepedulian untuk mendorong pemuda masuk ke dunia pertanian mulai menyeruak sekitar 2 tahun lalu. Berbagai lembaga menggandeng dan melibatkan pemuda untuk menjadi pionir pertanian modern. Mereka tidak ingin dunia pertanian yang begitu vital dan strategis ditinggalkan.
Trubus pun merasakan keprihatinan serupa dan tentu saja turut mendorong gairah generasi muda untuk bertani. Untuk itu sejak edisi Januari 2016 Majalah Trubus menghadirkan rubrik muda+. Rubrik itu berisi profil para pemuda pionir pertanian di berbagai bidang seperti perikanan, hortikultura, dan peternakan. Kehadiran rubrik baru muda+ diharapkan menjadi inspirasi bagi pemuda lain untuk ikut terjun ke
pertanian.
Para petani muda ternyata punya kesamaan: mereka memasukkan unsur inovasi dalam pertanian. Di sisi produksi mereka menerapkan teknologi terkini. Di bidang pemasaran mereka memanfaatkan teknologi digital. Itulah kunci sukses mereka. Pada edisi Oktober 2017 menyambut Hari Sumpah Pemuda Trubus menghadirkan kiprah para petani muda sukses itu sebagai topik utama.
Ada Edwin Pranata di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, yang mengolah sarang walet menjadi minuman kesehatan kekinian. Miftahul Huda di dataran tinggi Dieng, Provinsi Jawa Tengah, yang memproduksi bibit kentang berkualitas dan menguntungkan petani. Atau Swari Haryati, perempuan pionir sentra puyuh di kampungnya di Yogyakarta. Banyak di antara mereka berlatar pendidikan nonpertanian.
Luar biasanya para pemilik usia di bawah 35 tahun itu tidak sukses sendiri. Mereka melibatkan warga dari berbagai kalangan untuk bermitra dan menjadi pekerja. Itulah perwujudan wirausahawan sosial mereka. Pembaca terhormat, inilah gebrakan para petani muda Indonesia.
Sahabat Trubus, selamat menikmati sajian kami.